Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Negara Primitif?

14 Oktober 2014   22:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:02 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14132739241261088656

[caption id="attachment_347745" align="aligncenter" width="605" caption="(dok pribadi)"][/caption]

Maaf atas judul yang provokatif ini, namun inilah yang secara jujur tercetus pada benak saya melihat kejadian kabut asap yang untuk kesekian kalinya merundung wilayah Sumatera dan Kalimantan. Menurut catatan pada Tajuk Rencana harian Kompas, masalah haze (kabut asap) di Indonesia ini sudah terjadi sejak tahun 1997, jadi sudah 17 tahun berulang setiap tahun. Bagaimana tidak bisa dikatakan primitif, kalau masyarakatnya tidak ada kesadaran sama sekali untuk tidak membakar lahan gambut, sekalipun mereka tahu kerugian sosial (roda perekonomian terhambat, ancaman penyakit pernafasan meningkat). Setiap tahun tindakan tercela ini kembali diulangi tanpa ada rasa bersalah. Di sisi penyelenggara pemerintahan juga tak kurang mentalitas primitifnya. Tak ada upaya preventif dan antisipatif terhadap pembakaran hutan dan sangat minimnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran ilegal ini. Jadi, sudah klop pencitraan Indonesia sebagai negara primitif.

Beberapa tahun silam, kabut asap ini bahkan sampai menyeberang ke negara tetangga Singapura dan melingkupi udara yang biasanya bersih itu dengan asap tebal. Warga Singapura yang sudah tertata mentalitas hidup tertib melancarkan protes, namun kita bergeming bahkan menuduh warga Singapura cengeng dan tidak berempati. Kejadian yang sesungguhnya memalukan ini, membuat saya teringat dengan hal-hal lain dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Beberapa waktu berselang, saya melihat trotoar pada sejumlah ruas jalan di Palembang sedang dipugar. Yang menarik perhatian saya, trotoar ini dibangun lebih tinggi daripada trotoar sebelumnya. Anda yang sudah pernah bepergian ke negara Eropa dan Amerika, pasti sudah melihat bahwa trotoar di sana dibangun nyaris sama rata dengan permukaan jalan raya. Tujuannya agar trotoar ini ramah terhadap penyandang cacat dengan kursi rodanya. Di samping itu, trotoar yang datar ini juga ramah pada pejalan kaki terhadap kemungkinan terjatuh/terjerembab bila trotoar ini dibuat jauh lebih tinggi dari badan jalan.

Tapi apa pasal, trotoar di Indonesia masih dibuat dengan konsep lama, yaitu “nangkring” di samping jalan raya? Saya kira, Anda dan saya sudah mafhum alasannya. Kalau trotoar ini dibuat hampir rata dengan jalan raya, sudah bisa diperkirakan ribuan sepeda motor akan menyerbu masuk ke trotoar tanpa rasa sungkan. Dengan kondisi trotoar yang lumayan tinggi sekarang ini saja, tak jarang kita melihat sepeda motor “menginvasi” ruas pedestrian (pejalan kaki) dengan ganasnya, terutama pada kondisi lalulintas yang macet parah. Inilah yang saya katakan sebagai mentalitas yang primitif. Kalau kita sudah lebih berbudaya (more civilized), trotoar bisa dibangun nyaris se-level dengan badan jalan demi kenyamanan pejalan kaki, dan dengan kesadaran sendiri pengendara sepeda motor tak akan menerobos masuk ke trotoar yang bukan merupakan haknya.

Bilamana Anda pernah tinggal di negara-negara Eropa atau Amerika, tentu juga melihat bahwa SPBU (gas station) di sana tidak dilayani oleh petugas. Artinya, pengendara motor bersangkutan yang sepenuhnya melaksanakan pengisian BBM ke dalam tangki bensin. Dia sendiri yang menekan tombol berapa liter BBM yang akan diisikan (fill up), memasukkan nozzle ke mulut tangki dan setelah tangki terisi, barulah dia membayarnya dengan kartu kredit. Bagaimana kalau setelah mengisi bensin, si pengendara motor kabur tanpa membayar? Ini memang dimungkinkan, tapi terbukti pada masyarakat yang civilized kejujuran adalah bagian yang melekat (inheren). Saya membayangkan, kalau seandainya pengisian di SPBU memakai sistem self service seperti di atas, mungkin dua atau tiga bulan kemudian SPBU ini akan bangkrut karena saking banyaknya orang yang curang tidak membayar. Saya pernah mempunyai pengalaman naik kereta api commuter di salah satu kota di Kanada, yang tidak ada petugas pemeriksa karcis. Jadi kalau kita ingin berbuat curang naik kereta tanpa membeli tiket kesempatan itu terbuka lebar. Namun, masyarakat di sana dengan patuh dan tertib membeli tiket di stasiun pemberangkatan. Ya, ini sekedar perenungan bagaimana sebagai suatu bangsa dapat menaikkan harkat dan martabatnya dengan mematuhi norma-norma yang berlaku. Tanpa diawasi polisi, tanpa dimata-matai petugas intel, mereka sudah sadar tak akan membakar hutan, tak akan melanggar peraturan lalulintas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun