Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu...

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menelisik Asal Kata 'Kopiah', 'Peci' dan 'Songkok'

28 Juli 2013   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:55 6995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tiga istilah ini merujuk kepada benda yang sama, yaitu topi tradisional yang dikenakan oleh masyarakat Melayu, Brunei dan Indonesia. Topi ini berbentuk empat persegi panjang (oblong) tanpa pinggiran dan terbuat dari beludru berwarna hitam. Konon topi ini diperkenalkan oleh saudagar Arab yang sekaligus menyebarkan agama Islam ke kawasan Asia Tenggara enam abad silam. Namun dewasa ini, kopiah alias peci alias songkok, merupakan identitas khas orang Melayu, karena di tanah Arab sendiri pun tak dijumpai penduduk setempat yang mengenakan topi ini.

Sangat menarik menelisik asal kata (etimologi) ketiga istilah di atas. Pertama, istilah ‘kopiah’ yang juga menjadi istilah dalam bahasa Jawa. Istilah ini ternyata mengadopsi dari kata Arab ‘keffieh’, ‘kaffiyeh’, atau ‘kufiya’, namun ujud topi ini sama sekali berbeda dengan tutup kepala orang Melayu ini. Kaffiyeh berbentuk kain katun segi empat yang ditangkupkan di atas kepala dan pola kainnya biasanya berbentuk kotak-kotak kecil seperti jala ikan. Tokoh yang populer mengenakan kaffiyeh ini adalah Yasser Arafat, pejuang Palestina. Sebagaimana kata-kata Arab lain yang diserap ke dalam bahasa Melayu, suara ‘f’ berubah pelafalan menjadi ‘p’, sehingga ‘kufiah’ pun menjadi ‘kopiah’.

Tutup kepala orang Melayu ini ternyata juga dikenal dengan nama ‘peci’. Istilah ini kemungkinan besar ‘diperkenalkan’ oleh penjajah Belanda dengan sebutan ‘petje’, yaitu kata ‘pet’ yang diberi imbuhan ‘-je’ (kebiasaan orang Belanda menambahkan akhiran ‘je’ atau ‘tje’ yang makna harfiahnya ‘kecil’). Namun sama halnya seperti ‘kaffiyeh’, ujud topi ‘pet’ ini sangat berbeda dengan ‘peci’ yang kita kenal sekarang ini. Topi pet ini mempunyai pinggiran pelindung matahari dan biasanya dipakai oleh tentara di daerah operasi. Penamaan yang sebetulnya keliru dari orang Belanda ini, akhirnya malah kita adopsi menjadi kosakata Indonesia. Jadilah ‘petje’ ini menjadi ‘peci’. Sama halnya seperti ‘je’ atau ‘tje’ lainnya, seperti ‘panje’ menjadi ‘panci’, ‘schuitje’ menjadi ‘sekoci’ (perahu penyelamat), ‘laje’ menjadi ‘laci’.

Bagaimana pula dengan istilah ‘songkok’? Dalam bahasa Inggris dikenal istilah ‘skull cap’ ( dari skull = batok kepala, cap = topi). Skull cap ini juga topi yang biasa dikenakan masyarakat di Timur Tengah, bentuknya setengah bundar dan menutupi bagian ubun-ubun (crown) kepala, mirip dengan ‘topi haji’ yang sering dipakai orang di tanah air kita. Di kawasan Melayu yang dahulu dijajah Inggris, istilah ‘skull cap’ ini juga mengalami metamorfosa pelafalan, dari bunyi ‘skol-kep’ menjadi ‘song-kep’ dan akhirnya ‘song-kok’. Istilah ‘songkok’ di tanah air kita cukup populer di zaman Soekarno, namun di masa kini sepertinya agak jarang diucapkan orang. Berbeda dengan di Malaysia dan Brunei, kata ‘songkok’ ini masih sangat galib dipakai dalam wacana sehari-hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun