"Iya, Lia."
Iya, hati-hati. Si pemilik warung di tengah lokasi proyek juga bukan rakyat biasa, melainkan preman juga, bahkan pernah membacok orang.
Bagi Lia, tidaklah sulit mendapat informasi tentang orang-orang di sekitar lokasi proyek, khususnya di kampung pelosok semacam ini. Sedikit menyentil soal kenakalan remaja dengan contoh cucunya, informasi langsung tercurah hingga obrolan dengan emak-emak berlangsung pada keesokan harinya.
Lia juga menerima permintaan para pemuda setempat yang mau terlibat dalam pekerjaan. Pekerjaan apa saja berikut berapa upahnya, akan tetapi sekian hari kemudian satu per satu mengundurkan diri karena tidak mampu melaksanakan pekerjaan dengan baik.
Bagi Lia, dengan pengunduran diri itu berarti para pekerja lokal tidak mampu menunaikan tanggung jawab dengan baik setelah kontraktor memberikan kesempatan kepada mereka. Hal swadaya masyarakat setempat telah diupayakan dan disepakati, bereslah semuanya.
Kemampuan mengelola orang-orang setempat pun yang membuatnya diandalkan sepenuhnya oleh Sarwan, bahkan Demun. Demun sudah menyaksikan sendiri, bagaimana Lia dihormati oleh gerombolan preman setempat, dan tidak seorang pekerja pun berani melawan perintah Lia ketika bekerja.
"Kalau laki-laki berurusan dengan laki-laki gara-gara hal sepele ditambah panasnya cuaca siang di lokasi, tidak mustahil jika berakhir dengan perkelahian. Mau bekerja atau mau berkelahi?"
"Iya, bekerja-lah."
"Makanya, sekali lagi, hati-hati. Kalau ada persoalan yang begitu lagi atau berhubungan dengan keamanan lingkungan, biar aku saja yang langsung menghadapinya. Mereka pasti mikir emak mereka di rumah kalau diperlakukan tidak baik oleh pemuda kampung."
Tetapi malam dan dingin tidak perlu lagi direcoki oleh persoalan seputar keamanan dan preman. Ada yang lebih perlu dilakukan oleh keduanya untuk menyatukan dingin dan hangat dalam kamar selagi harum sabun mandi masih menempel di tubuh masing-masing, dan Nek Imah sedang menginap di rumah anaknya.
***