Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

TKA Ilegal dan TKI Ilegal

12 Januari 2017   01:45 Diperbarui: 13 Januari 2017   12:39 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maksud saya begini. Saya belum pernah membaca para komentator yang vokal-frontal menolak keberadaan tenaga kerja ilegal yang berasal dari Indonesia di suatu negara. Tidak seorang pun yang berteriak, semisal, “Pulangkan TKI Ilegal di luar negeri itu!” Berbeda sikap mereka ketika mendapatkan realitas tenaga kerja asing ilegal yang tertangkap di beberapa daerah di Indonesia. Padahal, dengan adanya status “ilegal”, sama saja antara TKI Ilegal dan TKA Ilegal, ‘kan?

Bukan! Begitu kira-kira alasan para penolak yang saya duga. TKA Ilegal berpotensi menambah angka pengangguran di Indonesia yang sudah padat penduduknya. Orang-orang Indonesia masih memerlukan lapangan pekerjaan. Kalau TKI Ilegal yang berjumlah sekian juta tersebar di banyak negara, justru suatu kehebatan karena negara asing membutuhkan tenaga dari Indonesia, dan menguntungkan bagi keluarga di Indonesia.

Padahal, lagi-lagi, tenaga kerja itu sama kelasnya, yaitu buruh alias pekerja kasar. Padahal juga, semua warga Indonesia yang dianggap TKI Ilegal bukanlah karena menyalahi izin kunjungan (visa), melainkan sebagian di antara benar-benar tanpa dilengkapi dokumen atau syarat administratif dari departemen imigrasi. Saya belum pernah mendengar teriakan lantang dari sekelompok orang mengenai pelarangan TKI Ilegal yang bertendensi memalukan bangsa-negara Indonesia dalam pergaulan internasional.

Ya, saya menduga. Dugaan saya sangat mungkin meleset, keliru, ngawur, dan sejenis, ‘kan?

Keadilan dan Ketidakadilan

Dari aneka tanggapan tentang TKI Ilegal dan TKA Ilegal, saya menangkap kesan yang tidak proporsional antara keadilan dan ketidakadilan. TKI Ilegal yang bekerja keras hingga sangat mendukung perekonomian (menguntungkan) keluarga di Indonesia tidaklah dianggap sebagai suatu realitas yang keliru, salah, bahkan “nista”. Tetapi, anggapan terhadap TKA Ilegal justru sebaliknya, “sangat merugikan”, wajib diusir ke negara asalnya, dan pemerintah wajib melarang atau “mengharamkan” TKA Ilegal.

Terkadang saya mengamati hakikat, substansi atau makna kata “keadilan” dan “ketidakadilan” hanya berkutat dalam perkara untung-rugi secara materi. Hal-hal lainnya, semisal kebangsaan, tidak lebih sekadar “pemanis” makna.

Keuntungan merupakan keadilan. Seseorang yang mendapat keuntungan, biasanya, cenderung diam atau memamerkan keuntungan yang kemudian dikatakan sebagai keadilan. Sesuatu atau situasi dinilai adil atau berkeadilan hanyalah dari keuntungan, minimal manfaat, yang diperoleh.

Sedangkan kerugian merupakan ketidakadilan. Tidak sedikit orang berteriak lantang menuntut keadilan itu hanya karena mendapat kerugian. Naasnya, ada juga orang yang berusaha mencari keuntungan tertentu dengan ikut berteriak lantang soal ketidakadilan. Kalau selanjutnya orang itu mendapatkan “keuntungan” yang dicarinya, ia akan diam, dan beralasan macam-macam untuk menghindar dari ajakan untuk berteriak bersama.

Begitukah? Barangkali justru pengamatan dan pemikiran saya terlalu dangkal mengenai keadilan dan ketidakadilan yang berkaitan dengan tenaga kerja ilegal, entah di negara mana saja itu.

Saran sebagai Alternatif Solusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun