Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

TKA Ilegal dan TKI Ilegal

12 Januari 2017   01:45 Diperbarui: 13 Januari 2017   12:39 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir 2016 dan awal 2017 saya membaca berita seputar tenaga kerja asing tidak resmi (TKA ilegal) dengan cara 'menunggangi' visa atau izin kunjungan ke Indonesia. Yang menjadi sorotan tajam adalah, sebagian pelakunya adalah warga negara asing (WNA) asal Tiongkok.

Senin (26/12), Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono di Suaranews.com mengatakan pada tahun 2015 saja warga negara Tiongkok yang masuk ke Indonesia itu mencapai jumlah 1.401.443 orang. Di antaranya mengunakan fasilitas bebas visa dan kemudian yang keluar dari Indonesia sejumlah 1.452.249 (ada selisih 50 ribuan WNA asal Tiongkok). Jadi menurutnya bukan hanya 26 ribu seperti dikatakan Presiden Joko Widodo.

Sementara dalam pada Rabu (28/12), Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tenaga kerja Tiongkok di Indonesia saat ini hanya berjumlah 21.000 orang, tidak sampai jutaan orang seperti yang banyak diisukan. Dalam edisi Jumat (30/12), Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menilai, isu serbuan tenaga kerja asal Tiongkok sengaja diciptakan oleh sejumlah pihak untuk menciptakan framing politik tertentu di masyarakat.

Di sisi lain, saya pun membaca beberapa berita tahun 2016. Tak kalah banyak dari Tiongkok, warga negara Indonesia yang menjadi tenaga kerja ilegal di negara lain tidaklah sedikit. Baiklah jika saya tuliskan jumlah ini dari tiga negara tujuan saja, yaitu Malaysia, Taiwan dan Korsel.

Di Malaysia, menurut Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Hermono dalam Media Indonesia, Ahad (6/11), terdapat 1,3 juta warga Indonesia yang bekerja tidak secara resmi alias ilegal di Malaysia. Di Taiwan, menurut Deputi Direktur Jenderal Pengembangan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja Taiwan, Tsai Meng Liang, dalam Antara di Taipei, Jumat (15/7), 45 % dari jumlah pekerja asing ilegal di Taiwan berasal dari Indonesia, dengan jumlah sekitar 23.000 orang . Di Korea Selatan, Dubes RI untuk Korsel John Prasetio dalam Batam Pos pada Kamis (7/4), pernah mengatakan bahwa jumlah TKI ilegal di sana diperkirakan sudah mencapai angka 7 ribuan.

Tenaga Kerja Ilegal
Saya perhatikan, setiap berita mengenai tenaga kerja ilegal, baik asal Indonesia ke suatu negara maupun asal asing ke Indonesia, yang dimaksud dengan pekerja pada berita tersebut adalah para buruh kasar. Saya tidak menemukan pembahasan mengenai tenaga kerja berspesifikasi ahli.

Mungkin, kalau sudah disebut “ahli”, statusnya pasti legal karena urusan keimigrasian sudah langsung dilakukan oleh negara dan perusahaan bersangkutan. Sedangkan buruh kasar mungkin tidak sempat melalui urusan imigrasi yang diurus oleh badan hukum yang ditunjuk oleh masing-masing negara.

Yang jelas, pendapat saya, status “legal” dan “ilegal” terhadap seorang tenaga kerja asing di suatu negara berkaitan erat dengan aspek administrasi dan rekomendasi negara, yang dalam hal ini adalah departemen atau lembaga imigrasi setiap negara. Dan, seseorang berstatus “legal-ilegal”, tentu saja, berdampak pada fokus kegiatan dan keamanan dalam seluruh proses kegiatannya yang bisa menjadi dasar kekuatan hukum pada negara terkait.

Atau, barangkali, perhatian dan pendapat saya ini sangat kacau dan tidak bermutu. Saya mohon maaf jika memang kacau dan tidak bermutu.

Untung dan Rugi

Saya menduga, mengenai realitas tenaga kerja ilegal tersebut berkaitan dengan nilai untung-rugi secara materi, bukan hanya persoalan berbangsa-bernegara. Tenaga kerja ilegal dianggap bahkan dihakimi sebagai sosok yang “nista” adalah ketika ia sama sekali tidak mendatangkan keuntungan bagi sekelompok komentator, bahkan justru merugikan.

Maksud saya begini. Saya belum pernah membaca para komentator yang vokal-frontal menolak keberadaan tenaga kerja ilegal yang berasal dari Indonesia di suatu negara. Tidak seorang pun yang berteriak, semisal, “Pulangkan TKI Ilegal di luar negeri itu!” Berbeda sikap mereka ketika mendapatkan realitas tenaga kerja asing ilegal yang tertangkap di beberapa daerah di Indonesia. Padahal, dengan adanya status “ilegal”, sama saja antara TKI Ilegal dan TKA Ilegal, ‘kan?

Bukan! Begitu kira-kira alasan para penolak yang saya duga. TKA Ilegal berpotensi menambah angka pengangguran di Indonesia yang sudah padat penduduknya. Orang-orang Indonesia masih memerlukan lapangan pekerjaan. Kalau TKI Ilegal yang berjumlah sekian juta tersebar di banyak negara, justru suatu kehebatan karena negara asing membutuhkan tenaga dari Indonesia, dan menguntungkan bagi keluarga di Indonesia.

Padahal, lagi-lagi, tenaga kerja itu sama kelasnya, yaitu buruh alias pekerja kasar. Padahal juga, semua warga Indonesia yang dianggap TKI Ilegal bukanlah karena menyalahi izin kunjungan (visa), melainkan sebagian di antara benar-benar tanpa dilengkapi dokumen atau syarat administratif dari departemen imigrasi. Saya belum pernah mendengar teriakan lantang dari sekelompok orang mengenai pelarangan TKI Ilegal yang bertendensi memalukan bangsa-negara Indonesia dalam pergaulan internasional.

Ya, saya menduga. Dugaan saya sangat mungkin meleset, keliru, ngawur, dan sejenis, ‘kan?

Keadilan dan Ketidakadilan

Dari aneka tanggapan tentang TKI Ilegal dan TKA Ilegal, saya menangkap kesan yang tidak proporsional antara keadilan dan ketidakadilan. TKI Ilegal yang bekerja keras hingga sangat mendukung perekonomian (menguntungkan) keluarga di Indonesia tidaklah dianggap sebagai suatu realitas yang keliru, salah, bahkan “nista”. Tetapi, anggapan terhadap TKA Ilegal justru sebaliknya, “sangat merugikan”, wajib diusir ke negara asalnya, dan pemerintah wajib melarang atau “mengharamkan” TKA Ilegal.

Terkadang saya mengamati hakikat, substansi atau makna kata “keadilan” dan “ketidakadilan” hanya berkutat dalam perkara untung-rugi secara materi. Hal-hal lainnya, semisal kebangsaan, tidak lebih sekadar “pemanis” makna.

Keuntungan merupakan keadilan. Seseorang yang mendapat keuntungan, biasanya, cenderung diam atau memamerkan keuntungan yang kemudian dikatakan sebagai keadilan. Sesuatu atau situasi dinilai adil atau berkeadilan hanyalah dari keuntungan, minimal manfaat, yang diperoleh.

Sedangkan kerugian merupakan ketidakadilan. Tidak sedikit orang berteriak lantang menuntut keadilan itu hanya karena mendapat kerugian. Naasnya, ada juga orang yang berusaha mencari keuntungan tertentu dengan ikut berteriak lantang soal ketidakadilan. Kalau selanjutnya orang itu mendapatkan “keuntungan” yang dicarinya, ia akan diam, dan beralasan macam-macam untuk menghindar dari ajakan untuk berteriak bersama.

Begitukah? Barangkali justru pengamatan dan pemikiran saya terlalu dangkal mengenai keadilan dan ketidakadilan yang berkaitan dengan tenaga kerja ilegal, entah di negara mana saja itu.

Saran sebagai Alternatif Solusi

Saya tidak bisa menyarankan apa-apa mengenai TKI Ilegal dan TKA Ilegal sebagai alternatif solusi yang patut diduga berpotensi adil seadil-adilnya. Saya bukanlah siapa-siapa, selain seorang warga negara tanpa posisi tawar (bargainning position) dalam kebijakan bangsa-negara Indonesia. Pemerintah jauh lebih mampu memikirkan dan menyelesaikan segala persoalan terkait tenaga kerja itu.

Bagi saya pribadi, betapa benarnya jika saya memfokuskan diri pada pekerjaan atau kegiatan saya, dan berpikir mengenai kontribusi saya secara signifikan dan berkesinambungan untuk keluarga saya. Ada-tidaknya pekerjaan yang menghasilkan uang untuk saya dan keluarga saya, bukanlah karena sebelumnya saya telah menuntut pemerintah Indonesia memerhatikan kebutuhan hidup saya sekeluarga.

Prinsip saya, rezeki merupakan hak preogatif mutlak milik Sang Pencipta alias Sang Pemberi Hidup. Untung-rugi, kaya-miskin, atau mujur-sial adalah segala sesuatu yang selalu berada dalam kekuasaan Sang Maha Kuasa. Saya tidak patut menuntut apa-apa, kecuali menuntut diri saya sendiri bekerja sebaik-baiknya dengan sepenuh integritas saya.

Begitu saja? Iya, begitu saja. Mudah, dan sederhana, ‘kan?

*******

Panggung Renung, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun