Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Indonesia Sehat Indonesia Pintar

2 September 2014   22:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:48 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabatku Erik,

Ada teman bernama pak Untung bercerita. Dia adalah seorang duda yang tinggal dengan dua anak, setelah istrinya meninggal karena kanker tujuh tahun yang lalu. Tinggal di Karawang dengan profesi serabutan, dia membesarkan kedua anaknya tersebut hingga putrinya yang bungsu lulus sekolah SMA. Si bungsu ini, selepas lulus sekolah dua tahun yang lalu rencananya juga ingin langsung bekerja, minimal kerja di pabrik-pabrik di sekitar Karawang situ seperti juga kakaknya.

Persoalan kemudian ternyata pada saat medical test, si bungsu itu ketahuan kalau dia mengidap kanker walau masih dalam stadium ringan. Ini yang jadi masalah. Dan yang namanya penyakit, semakin dipikir semakin cepat perkembang biakannya, begitu pun dengan kanker yang dialami putri pak Untung tersebut.

Tiga bulan setelah diketahui pasti putri bungsunya mengidap kanker menjadikan situasi keluarga pak Untung benar-benar porak-poranda. Rumah kecilnya yang tak seberapa terjual untuk biaya pengobatan. Dan itu jelas belum selesai, kamu tahu sendiri khan penanganan untuk penyakit kanker itu harus sedemikian ekstra dan tak boleh terputus jadual pengobatannya.

Oleh bibinya, adik pak Untung yang tinggal di Jakarta, si bungsu lalu dipindahkan ke Jakarta. Bayangannya di Jakarta toh peralatan untuk spesialis kanker lebih memadai, dan satu lagi jadi andalan: dia memiliki Kartu Jakarta Sehat.

Tak perlu waktu lama untuk mengurus kepindahan si bungsu dan lalu memasukkannya dalam daftar keluarga si bibi, singkat kata putri pak Untung pun kemudian bisa mendapatkan layanan dengan menggunakan Kartu Jakarta Sehat.

Saya tidak paham percis bagaimana prosedur pembuatan kartu tersebut, yang pasti pak Untung yang saat ini sedang mendapatkan pekerjaan sebagai pengawas proyek bangunan di daerah saya menceritakannya demikian. Pengobatan anak bungsunya tertangani tanpa mengeluarkan biaya berarti, dengan jaminan pelayanan yang sama laiknya pasien secara umum.

Saya ikut merasa bersyukur, dan terkesima dengan kisahnya itu. Bukan pada bagian penderitaan anak pak Untung yang menderita kanker itu, namun bagaimana sebuah kartu pelayanan bisa menolongnya segitu rupa. Alangkah beruntungnya warga Jakarta. Di titik inilah saya kemudian bertanya, jika Jakarta bisa menyediakan kartu sedemikan hebat seperti Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, kenapa di propinsi-propinsi lain tidak demikian halnya?

Toh yang begitu itu juga tidak perlu dilakukan dengan merogoh kantong para gubernur. Hanya karena Jokowi yang bisa melakukannya, atau karena para gubernur di wilayah lain gengsi untuk mengaudopsi program-program tersebut takut dibilang tidak kreatif atau bagaimana? Begitulah sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, Jakarta Sehat Jakarta Pintar.

Sebuah program yang bagus, menurut saya tidak perlu dipersoalkan siapa yang kemudian bisa ikut-ikutan ngetop karena menjalankannya, namun yang demikian akan lebih bagus lagi kalau bisa dilaksanakan secara merata. Indonesia kedepan yang lebih bagus memang harus begitu.

Sudah terlalu banyak orang yang pintar, namun justru sakit jiwanya. Sebaliknya begitu banyak orang sehat, apesnya cuma jadi pesuruh kantor biasa. Jateng Sehat Jateng Pintar, Papua Sehat Papua Pintar, Pontianak Sehat Pontianak Pintar, misalnya. Mestinya semua itu bisa menjadi gema kegembiraan rakyat secara umum di masing-masing daerahnya. Akan tetapi, sekali lagi apa sih sebetulnya masalahnya?

Hanya karena di Jakarta ada Monas dan air mancur yang pandai berjoget di Binaria, lalu apakah daerah-daerah lain di Republik ini tak mampu melakukannya? Never know, apakah kamu tahu jawabannya, sahabatku Erik?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun