Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Secuil Asa untuk Jokowi...

15 September 2019   08:27 Diperbarui: 15 September 2019   08:44 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kriiiiing...pesawat telepon di meja kantor saya itu berdering. Saya angkat gagang telepon. "Mas, ini Jokowi. Bisa ketemu tidak hari ini? Saya ingin menyampaikan sesuatu." Suara itu tidak asing bagi saya. Sebelumnya saya pernah bertemu Jokowi untuk keperluan wawancara. 

Setelah menerima telepon, saya bergegas menuju pabrik Mebel Rakabu---pabrik kayu milik Joko Widodo---di kompleks Pusat Industri Kecil (PIK) di Pabelan, Kartasura, pada Maret 1998, 21 tahun silam.

Ini adalah pertemuan kedua saya dengan Jokowi selama menjadi reporter di Harian Solopos. Kala itu nama Jokowi belum setenar sekarang karena belum terjun ke dunia politik. 

Sebagai reporter Ekonomi dan Bisnis, tentu topik yang kami bicarakan seputar dunia usaha, terutama bisnis yang digeluti Jokowi : eksportir mebel kayu. Rupanya dari dua pertemuan itu Jokowi ingin curhat tentang dunia bisnisnya.

Saat itu situasi bisnis tengah tidak menentu. Krisis moneter akut. Nilai rupiah terpuruk atas mata ulang dolar Amerika. Bukan hanya eksportir, tapi hampir semua kalangan dunia usaha mengeluhkan kondisi yang sama.

Situasi krisis rupiah sesunggunya menguntungkan para eksportir seperti Jokowi karena buyer di luar negeri membayar dengan uang dolar. Ini kesempatan untuk meraup untung sebanyak-banyaknya. Namun, teori tak selalu sejalan dengan kenyataan. 

Kebijakan uang ketat pemerintah membelenggu kalangan eksportir untuk memanfaatkan peluang itu. Suku bunga pinjaman melangit, tak terjangkau.

Apalagi saat itu pemerintah menghentikan pemberian fasilitas diskonto LC (letter of credit) yang memengaruhi cashflow para pengusaha. "Mau pinjam bunga tinggi, tidak pinjam modal terbatas," keluh Jokowi. 

Karena itu Jokowi mendesak pemerintah tidak hanya mengimbau agar para pengusaha meningkatkan kapasitas ekspornya, tapi juga bisa memberi jalan keluar atas berbagai masalah itu.

Saat Jokowi berkeluh kesah kepada pemerintah, saya menyikapinya biasa-biasa saja. Dalam situasi krisis yang berdampak luas, orang mengeluh itu hal biasa saja.

Entahlah, hal yang biasa-biasa itu kini menjadi luar biasa setelah Jokowi menjadi presiden. Dulu saat masih menjadi pengusaha, dia meminta pemerintah untuk mendengarkan keluhan dari masyarakat, khususnya untuk kalangan eksportir "kaki lima" (Jokowi menyebut dirinya seperti itu). Sekarang situasi berbalik 180 derajat. Jokowi telah menjelma menjadi orang nomor satu di pemerintahan.

Jokowi bukan lagi rakyat biasa yang bisa protes kepada pemerintah. Tapi seorang presiden yang punya kesempatan besar untuk membuat kebijakan berdasarkan kebutuhan publik. 

Tentu saya berharap posisi itu Jokowi bisa benar-benar mendengarkan masukan publik saat mengambil keputusan, seperti harapan Jokowi kepada pemerintah saat dia masih menjadi pengusaha.

Sesungguhnya akhir-akhir ini saya sangat galau atas keputusan Jokowi yang menyetujui revisi terbatas atas UU KPK yang tengah ramai dibicarakan publik. 

Seolah-olah Jokowi mengabaikan masukan dari berbagai kalangan, baik kalangan intelektual, mahasiswa, para guru besar, ahli hukum dari berbagai kampus, dari internal KPK, dan dari anggota masyarakat lainnya. 

Saya tidak perlu menyoroti kalangan anggota DPR yang sejak awal berambisi "mengebiri" KPK dengan menggunakan kewenangannya melalui legislasi. Saya sudah putus asa dengan para "wakil rakyat" itu.

Saya masih punya sedikit asa kepada presiden Jokowi. Saat DPR memutuskan merevisi UU KPK untuk kesekian kalinya, saya masih berharap Jokowi akan menolaknya, atau setidak-tidaknya menunda seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. 

Apalagi dalam berbagai kesempatan Jokowi selalu bilang punya komitmen besar terhadap pemberantasan korupsi. Meski sampai detik ini saya belum melihat secara nyata strategi besar itu. Kecuali masih dalam wacana-wacana.

Saya masih terngiang-ngiang akan janji-janji Jokowi pada kampanye Pilpres 2014. Pada naskah Nawacita Jokowi menempatkan semangat penegakan hukum yang bebas korupsi pada poin pertama dari 9 cita : "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bertamartabat dan terpercaya." 

Salah satu poin dari cita itu, Jokowi akan memperkuat posisi KPK dalam strategi pemberantasan korupsi. Jokowi akan menambah anggaran KPK hingga 10 kali lipat. Wow..fantastis.

Bikin Loyo

Cita-cita untuk memperkuat KPK ini menjadi daya tarik sehingga saya menitipkan asa kepada Jokowi untuk memimpin negeri ini. Padahal sebelumnya saya tidak percaya lagi kepada penguasa. 

Entahlah, sedikit asa itu sekarang berada di bibir jurang. Ekspektasi saya Indonesia akan kian bebas korupsi masih sekadar asa. Kebijakan para penguasa juga tidak berpihak pada gerakan pemberantasan korupsi. 

Alih-alih KPK akan diperkuat agar lebih digdaya menyikat para koruptor, membuat sistem dan kultur yang baik untuk Indonesia yang bersih, Jokowi justru menyetujui sebagian usulan DPR terkait revisi UU KPK.

Dalam konferensi pers beberapa waktu lalu Jokowi mengatakan revisi ini adalah bagian dari strategi penguatan KPK. Tapi tak ada satu poin pun yang diusulkan DPR itu adalah bagian dari penguatan. 

Justru sebaliknya kian menumpulkan pemberantasan korupsi. Hingga satu juta kali orang mengatakan penguatan, akal sehat saya berpendapat sebaliknya : bikin KPK loyo.

Bahwa KPK memang masih banyak kelemahan, itu realitas yang tidak bisa diingkari. Perlu penataan organisasi agar keberadaan KPK efektif untuk memberantas korupsi di negeri ini. Karena itu perlu langkah penguatan. Bukanlah malah dilemahkan.

Berbagai usulan, masukan dari masyarakat seolah dianggap angin lalu. Apakah ini karena Jokowi tak lagi punya beban elektoral terkait Pilpres? Toh kini kembali terpilih untuk periode kedua? Saat Jokowi menyampaikan terminologi "tanpa beban" saat pidato kemenangan pilpres 2019, saya punya perspektif positif, meski belakangan muncul kecurigaan. 

Apakah persetujuan terhadap UU KPK karena bagian dari sikap "tanpa beban" itu? Bukankah selama ini dia selalu mempertimbangkan desakan publik? Wallahualam...Hanya Tuhan, Jokowi dan kalangan terbatas yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi di balik panggung ini.

Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang perlu diperhatikan Pak Jokowi. Tak sepantasnya sang pemegang mandat memutus asa mereka yang memberikan mandat.

Sungguh terlalu...

Perum Chrisan 1
14 September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun