Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilihan Kata (Diksi) yang Membangun dan Melumpuhkan Buzzer Politik

2 Oktober 2020   04:57 Diperbarui: 2 Oktober 2020   05:02 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Elyoenaiblog.Net 

Memilih kata atau diksi yang membangun membutuhkan latihan secara kontinu. Tetapi ada kalanya seolah kontradiksi. Mislanya, apa pilihan kata bagi koruptor dan penjahat?

Pilihan kata apa yang membangun untuk mantan narapidana yang calon Bupati, Walikota, Gubernur yang belum menunjukkan tanda-tanda kemauan untuk berubah?

Sebagai contoh,  setiap  Bakal Calon (Balon) di Pilkada 2020 harus mengumumkan di media. Tetapi, dipilih  media yang oplahnya sedikit, itupun langsung dibeli semua agar tidak ada yang mengetahui isi pengumuman itu.  

Artinya, tidak ada niat mau berubah. Balon itu masih mempertahankan hidupnya yang lama. Andaikan kelihatan ada niat serius bahwa pernah narapidana dan diyakinkan bahwa akan berubah maka rakyat akan simpati.

Pilihan kata yang membangun memang harus mutlak, tetapi harus kontekstual.  Di berbagai media ada pendapat yang mengatakan kit acari kata yang keras soal korupsi.   

Kata korupsi itu semacam kata yang lembut, mungkin kata yang pas adalah mencuri.  Pilihan kata  uang komisi juga  sangat lembut, padahal uang komisi ini telah merusak kehidupan berbagsa dan bernegara. Misalnya, pejabat negara mendapat uang komisi dari pelaksana proyek.  Kalau dulu, jika uang komisi yang banyak disebutlah di tempat basah.  

Padahal, jika kita keras bicara uang komisi itu adalah sebuah kejahatan. Dalam Undang-Undang kita disebut gratifikasi. Nah, apa bedanya upeti, uang komisi, gratifikasi?. 

Ketika saya kuliah tahun 2000 an, saya pernah membaca   pejuang 45 yang tinggal di Jerman menulis, "bangsa  Indonesia itu sulit maju karena bangga dengan uang komisi, uang komisi sama dengan upeti".   

Pejuang 45  itu  melanjutkan bahwa budaya uang komisi membuat  anak-anak bangsa tidak produktif. Bangsa yang maju jika produktivitas warganya tinggi.  

Seorang yang produktivitasnya tinggi akan memberikan kontribusi besar bangi bangsa. Akumulasi produktivitas tinggi itulah membuat bangs aitu maju dengan baik. Sebaliknya, akumulasi  kebanggan uang komisi  akan merusak produktivitas. Bagaimana mungkin seseorang produktif jika komisi tinggi. Sebab, modal kerja sudah habis untuk komisi.

Ketika sekolah SD, SMP, SMA hingga kuliah, saya tidak suka pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Ternyata, setelah lulus kuliah tersadar bahwa Bahasa sangat penting untuk membangun negeri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun