Maka, ketika buku antologi puisi ini diluncurkan, kita tidak hanya menyambut terbitnya sebuah buku. Kita menyambut kembalinya suara. Suara yang pernah lahir dari kelir dan gong, dari debu pedalangan dan aroma minyak kelapa di malam hajatan. Suara yang kini menjelma dalam huruf-huruf hitam di atas kertas putih.
Ki Nartosabdo pernah berkata, "Wayang iku urip, yen dalang ngerti rasa." Wayang itu hidup, bila dalangnya memahami rasa. Kalimat itu kini terasa menggaung di antara para penyair yang mencoba menghidupkannya kembali. Mungkin, dalam dunia yang semakin bising ini, kita butuh kembali mendengar rasa.
Seratus tahun setelah kelahirannya, Ki Nartosabdo tidak hanya dikenang sebagai maestro pedalangan, tetapi sebagai pengingat bahwa bahasa, apapun wujudnya, adalah rumah bagi jiwa manusia. Dan di Rumah Pohan, tempat antologi itu akan diluncurkan, kita akan menyaksikan: bahwa rumah yang sejati kadang tidak terbuat dari tembok, melainkan dari kata.
Dan di sana, di antara puisi-puisi itu, mungkin Ki Nartosabdo akan tersenyum dari balik bayang-bayang.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI