Menyambut Antologi Puisi 100 Tahun Ki Nartosabdo
Oleh Gunoto Saparie
Mungkin, seratus adalah angka yang pas untuk mengenang seorang dalang. Angka yang genap, penuh, dan bulat, seperti lingkaran gamelan yang tak berujung. Pada usia seratus tahun kelahiran Ki Nartosabdo, para penyair Semarang memutuskan untuk berbicara dengan caranya sendiri: lewat puisi. Seratus penyair, seratus suara, seratus cara menafsirkan satu nama yang pernah menggetarkan panggung wayang di seluruh Jawa.
Mereka tidak sedang menulis sejarah. Mereka tidak sedang membuat biografi. Mereka menulis sesuatu yang lebih samar, lebih halus, seperti suluk yang terdengar lirih sebelum wayang bergerak. Dalam antologi ini, kita mungkin akan menemukan bukan hanya sosok Nartosabdo, tapi gema dari apa yang pernah dia bangkitkan: rasa, ritme, dan ingatan.
Buku itu akan diluncurkan oleh Dewan Kesenian Kota Semarang di Rumah Pohan, Jalan Kepodang, Semarang, sebuah tempat yang ironis sekaligus indah. Di antara bangunan-bangunan tua yang pernah menjadi saksi kejayaan kota pelabuhan, para penyair akan membaca puisi untuk seorang dalang yang membawa wayang dari keraton ke kampung, dari ruang upacara ke radio, dari pendopo ke televisi. Mungkin, dari dunia bayang-bayang ke dunia nyata.
Ada sesuatu yang ajaib dari cara Ki Nartosabdo memahami seni. Ia tidak hanya memainkan wayang; ia menjadikan wayang sebagai cara berbicara kepada rakyat. Ia tahu, di balik tokoh-tokoh Mahabharata, ada ruang luas bagi sindiran sosial, kritik politik, dan kegetiran manusia. Dalam "Petruk Dadi Ratu", misalnya, ia menyisipkan tawa yang getir: tentang kekuasaan, tentang ambisi, tentang kebodohan yang menyamar menjadi kebijaksanaan.
Para penyair Semarang tampaknya mengingat hal itu. Mereka tahu bahwa yang dikenang bukan hanya seorang dalang, tetapi sebuah kesadaran: bahwa seni, betapapun tradisionalnya, bisa menjadi cermin zaman. Dalam setiap tembang dan dialog, Nartosabdo menanamkan kemungkinan untuk berpikir. Ia bukan sekadar pelestari tradisi, melainkan pembaharu dalam diam.
Dan kini, lewat puisi, pembaharuan itu seolah berulang. Bahasa yang lahir dari suluk dan sinden kini menemukan bentuk barunya dalam bait-bait modern. Kata-kata yang dulu diucapkan dalam nada pelog dan slendro kini dihidupkan kembali dalam diksi dan metafora. Seratus penyair itu seperti menabuh kendang bersama, masing-masing dengan irama sendiri, tetapi menuju nada yang sama: penghormatan.
Kita tahu, setiap zaman punya caranya sendiri untuk mengenang. Ada yang membuat patung, ada yang menulis buku sejarah, ada yang menamai jalan. Tetapi puisi, barangkali, adalah bentuk penghormatan yang paling lembut sekaligus paling jujur. Ia tidak ingin menjelaskan siapa Ki Nartosabdo, melainkan merasakan keberadaannya.
Dan bukankah itu yang dulu dilakukan dalang? Ia tidak mengajar dengan buku, tetapi dengan perasaan yang tumbuh dari kisah. Dengan tangan yang menggerakkan bayangan, ia menggerakkan batin penonton. Dengan tembang yang ia nyanyikan pelan, ia menanamkan nilai-nilai yang tak pernah berkarat.
Maka, ketika buku antologi puisi ini diluncurkan, kita tidak hanya menyambut terbitnya sebuah buku. Kita menyambut kembalinya suara. Suara yang pernah lahir dari kelir dan gong, dari debu pedalangan dan aroma minyak kelapa di malam hajatan. Suara yang kini menjelma dalam huruf-huruf hitam di atas kertas putih.