Maka mengenang Hermien, bukan hanya mengenang seorang kritikus sastra, tetapi juga seorang intelektual publik. Ia membangun percakapan tentang teks, tetapi juga tentang dunia di balik teks. Tentang puisi, tetapi juga tentang penderitaan. Tentang cerita, tetapi juga tentang hak asasi perempuan.
Dengan begitu, Hermien memperlihatkan kepada kita bahwa sastra dan kehidupan tak bisa dipisahkan. Kritik sastra yang sejati, bagi Hermien, adalah kritik atas dunia itu sendiri.
Kepergiannya menimbulkan satu pertanyaan: siapakah kini yang akan menjaga ruang percakapan itu? Kita hidup di zaman ketika kritik semakin singkat, sering kali sekadar komentar media sosial. Zaman ketika kata-kata lebih sering digunakan untuk berteriak, bukan untuk memahami.
Hermien menolak jalan pintas itu. Ia sabar menelaah. Ia tekun membaca. Ia tetap percaya bahwa kata-kata harus dirawat dengan kesungguhan.
Kita mungkin kehilangan tubuhnya, tetapi apakah kita juga akan kehilangan kesabaran itu?
Saya kira, inilah arti sesungguhnya dari mengenang Hermien: bukan sekadar melukiskan sosoknya, melainkan melanjutkan sikapnya. Menghidupkan kembali keberanian untuk berpikir kritis. Menjaga kepekaan pada yang terpinggirkan. Menyadari bahwa setiap kalimat selalu punya konsekuensi moral.
Hermien sudah menunjukkannya. Kini, giliran kita.
Tetapi mengenang juga berarti mengingat bahwa Hermien adalah manusia, dengan keluarga, dengan sahabat, dengan cinta. Ada duka yang lebih sunyi dari sekadar kehilangan intelektual: duka keluarga yang ditinggalkan. Bagi mereka, Hermien bukan sekadar kritikus, bukan hanya suara di ruang publik, tetapi juga seorang istri, seorang ibu, seorang sahabat yang hangat.
Kematian, pada akhirnya, selalu sederhana dan personal.
Namun, seorang penulis, seorang kritikus, seorang intelektual, selalu meninggalkan jejak yang tak bisa ditutup. Tulisan-tulisannya, percakapannya, bahkan keberaniannya, semua itu tetap hadir. Kita bisa membuka kembali catatan-catatan Hermien, dan merasa seakan ia masih duduk di hadapan kita, berbicara, menantang, mengingatkan.
Seperti kata seorang filsuf: seorang penulis mati, tetapi bukunya tak pernah mati.