TAWURAN RAMADAN
Sekian tahun ini sudah terjadi dan berlangsung suatu kegiatan yang selalu berjalan di bulan Ramadan. Bukan aktivitas normal seperti biasa dan umumnya. Misalnya puasa, buka bersama, pengajian di mushala atau masjid, membaca kitab Al Quran sendiri maupun secara berkelompok, atau berbagi makanan takjil gratis di tempat umum. Ada sekelompok besar orang yang melakukan kegiatan Tawuran Ramadan. Jadi kalau ada puasa Ramadan, sedekah Ramadan, tadarus Ramadan, tausiyah Ramadan, dan sebagainya, maka ada juga Tawuran Ramadan.
Saya sebut saja fenomena ini sebagai tawuran Ramadan karena berlangsung di bulan Ramadan. Dari kata tawuran saja kita sudah membayangkan suatu kejadian yang buruk terjadi. Miris dan ironisnya, perbuatan yang sudah melibatkan dua kelompok besar manusia ini berlangsung di bulan suci Ramadan. Bulan yang identik dengan segala perbuatan baik dengan balasan pahala yang luar biasa besar bagi yang meyakininya.
Tapi tawuran di bulan Ramadan ini benar-benar berlangsung di depan mata. Langsung kita lihat di tempat kejadian atau lewat layar tv atau hp kita. Dalam angka yang menakutkan! Kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi tawuran dari berbagai kota besar dan kecil. Selalu tersebutkan angka korban-korbannya. Sekian terluka, sekian tewas. Bahkan ada yang disebarkan lewat medsos orang-orang yang terlibat langsung perkelahian massal itu.
Ada banyak pertanyaan mengapa fenomena tawuran Ramadan terus berulang dari tahun ke tahun. Penjelasannya memang selalu merujuk pada permasalahan sosial yang terjadi, khususnya di masyarakat kota. Tawuran Ramadan sebenarnya ya tawuran saja yang terjadi di bulan Ramadan. Kenapa bisa marak di bulan Ramadan ?
Waktu luang yang lebih panjang karena libur sekolah bulan Ramadan bisa jadi salah satu penyebabnya. Bagi anak-anak berlebih energi yang tak bisa memanfaatkan waktu bebasnya dengan baik selalu punya peluang itu untuk mengikuti panggilan tawuran.
Dari setiap tawuran yang terjadi selalu tidak ada atau kurangnya penyelesaian yang tuntas dan pasti untuk penanganan tawuran. Biasanya para pelaku yang hampir pasti berusia belia itu jika ditahan pihak keamanan maka hanya menerima perlakuan "lunak". Orangtua para pelaku yang terlibat hanya dipanggil ke kantor polisi. Setelah sedikit drama tangis-tangisan antara para pelaku dan emak-emak mereka dan perjanjian tidak akan terlibat tawuran lagi, anak-anak muda itu kemudian dipulangkan ke rumah masing-masing. Tanpa ada jaminan mereka takkan mengulang perbuatannya lagi.
Jika ada yang mati, baru proses hukum akan terus berlanjut, itu pun jika pelaku pidananya tertangkap.
Tawuran Ramadan tidak akan berhenti jika kita hanya mengandalkan pencegahan dan pengurangannya hanya kepada petugas keamanan atau kepolisian. Ada tiga unsur lain yang selama ini lemah dalam pembentukan karakter para remaja sehingga mereka amat mudah terpancing ikut tawuran: keluarga, sekolah, dan lingkungan tinggal mereka.
Keluarga tak lagi menjadi tempat yang penuh perhatian dan menyenangkan untuk  beraktualisasi diri. Sekolah hanya memberi beban belajar yang membuat mereka tak bersemangat untuk berangkat sekolah. Sedangkan lingkungan masyarakat semakin tumbuh menjadi lingkungan yang tak nyaman karena ketidakpedulian pada sesama mereka. Beban hidup sehari-hari seakan tak memberi kesempatan mereka untuk sekedar saling mengawasi anak-anak dalam lingkungan tinggal mereka.