Mohon tunggu...
Goel A Pahit
Goel A Pahit Mohon Tunggu... Freelancer - Lauik sati rantau batuah

Pembaca, suka menulis dan cinta akan dunia literasi. Saya bercita-cita mendirikan pustaka baca gratis untuk desa kelahiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pusaka yang Hilang

5 September 2020   18:00 Diperbarui: 5 September 2020   23:14 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teks foto: Kebun sawit perusahaan. | dokpri

Tanah moyangku mulai retak seribu, tanahnya kering dan jalannya berdebu, sekelompok orang berkuasa di atas tanah moyangku, mengikis dan mengeruk sedikit demi sedikit hasil buminya.

Anakku menangis tidak minum susu, badannya kurus karena kekurangan gizi, cerobong asap pabrik menghitamkan negeri ini, kami hanya bisa menonton, sedangkan anak kami menjerit karena lapar.

Sudah berpuluh tahun negeriku dikeruk oleh mereka, katanya kami merdeka, katanya kami sejahtera, padahal air ludah sering menetes melihat mereka makan dengan daging dan fasta, sedangkan kami hanya makan asap dan limbah.

Dulu tanah itu tanah moyangku, kini tidak lagi, pendahuluku terlalu silau dengan godaannya, hingga lupa bahwa pusaka tergadai dan punah, kini kami hidup dalam derita yang lama.

Tanah yang dulu basah, kini sudah mulai pecah, kekeringan. Apalah daya, mereka sudah tertawa bahagia menikmati isi alam kita, hijau daunnya saja untuk kita, uangnya mereka bawa ke negeri mereka.

Sei. Likian, 05-September-2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun