Sehingga, bertolak dari hal itu, hampir tidak ada usaha konkret untuk mengatasi situasi batas tersebut.
Beberapa petani miskin yang pernah saya jumpai di kampung-kampung, misalnya, mengatakan bahwa mereka bertani semata-mata untuk mengakali perut sesaat lapar. Itu saja. Dengan begitu, skala produksinya betul-betul terbatas.
Namun, tak semua petani Mabar itu malas. Lantaran, beberapa dari mereka yang saya jumpai memiliki pola pikir yang sedikit lebih maju.
Di mana produk pertaniannya sudah berorientasi pada uang, selain untuk memenuhi kebutuhan di level pribadi, tentu saja.
Hanya saja, ada di antara mereka yang masih terkendala lahan untuk bercocok tanam. Terkhusus bagi para petani gurem.
Jadi, untuk menyiasati keterbatasan lahan tersebut, mereka meminjam lahan milik petani lain. Terlepas dari kesepakatan bagi hasil, dlsb.
Singkatnya, yang ingin saya katakan, bahwa kemalasan-kemalasan petani yang disengajakan atau tidak seperti ini, menjadi kanker yang menghambat pembangunan pertanian di pedesaan Mabar.
Saya kira, sikap malas sebagian petani tersebut tidak hadir sebagai motif tunggal namun ada pemicu lain yang mendasarinya.
Seperti misalnya, soal kepemilikan modal yang kecil, kesulitan dalam mengakses pasar dan penguasaan lahan yang terbatas.
Di sinilah perlunya campur tangan pemerintah daerah dan stakeholder terkait. Tentu saja, tak sekadar menurunkan tim sekelas PPL untuk bersosialisasi.
Namun, lebih daripada itu, turut memberikan kemudahan dalam akses permodalan, bantuan alat-alat pertanian moderen, subsidi pupuk, dlsb.