Dengan simplifikasinya, konsumen di restoran menurun, begitu pula di hotel-hotel dan tempat rekreasi lainnya yang belum sepenuhnya di buka.
Secara temporal penyebab harga komoditas menurun memang bisa saja tersebab Covid-19. Tak bisa terelakaan memang karena pandemi ini telah membatasi mobilitas barang dan jasa. Sehingga secara tidak langsung situasi ini berdampak pada fluktuasi harga komoditas pertanian.
Tapi menurut saya, penyebab utamanya bukanlah karena pandemi. Masalah utamanya adalah struktural dan/atsu kelembagaan pasar kapitalis yang tidak adil. Atau dengan kata lain, politik dunia usaha yang kurang fair antar produsen (petani) dan konsumen (pengusaha).
Tentu saja sebagai pemain tunggal di pasaran, pengusaha dan/atau pemodal kuat inilah yang sepenuhnya mengatur jalannya proses transaksional barang dan jasa. Dengan begitu, mereka bebas mematok harga.
(3)
Karena pada faktanya, keluhan akan harga komoditas pertanian menyusut ini sudah menjadi penyakit menahun. Tidak hanya tahun ini saja. Pada tahun sebelum-sebelumnya juga demikian.
Dengan begitu kurang afdol rasanya bila kita mengklaim pendemi Covid-19 adalah penyebab utama di balik terjungkalnya harga sejumlah komoditas pertanian ini.
Dalam rilis data terbarunya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengkonfirmasi sub sektor pangan mengalami penurunan sebesar 0,54%. Penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) ini lantaran adanya penurunan harga beberapa komuditas pertanian.
Membaca fenomena ini, ada baiknya pemerintah melalui Kementan untuk melakukan evaluasi terhadap penurunan harga komoditas pertanian di tengah petani saat ini.
Lebih lanjut, saya sepakat ihwal di akhir penjelasannya, Ibu Retno mengatakan pihaknya saat ini menyediakan beberapa kebijakan yang anatara lain menyediakan Pasar Tani. Menurutnya Pasar Tani akan memfasilitasi petani dan pembeli (konsumen) dalam memasarkan hasil pertanian.