Menurut beliau, terlepas dari apapun profesimu kelak, kamu juga harus bisa bertani. Prinsipnya bahwa bertani sebisanya dijadikan hobi dan atau agar bisa hidup mandiri kelak.
Beberapa bulan terakhir ini memang beliau saya perhatikan sedikit apatis dan mulai cuek dengan urusan ladang. Salah satu penyebabnya adalah karena harga cengkeh yang terus jongkok tadi. Pun mungkin karena faktor usia yang sudah menginjak kepala enam, sehingga tidak kuat lagi naik turun perbukitan menyambang ke kebun.
Begitulah orang tua, terkadang seiring usia semakin senja, spirit untuk bekerja pun sudah berlahan surut. Kami sekeluarga (terkhusus anak laki-lakinya) bahkan sering mengingatkan agar tidak perlu lagi menyibukan diri dengan aktivitas tani dan bercocok tanam lagi. Biarkan kami saja yang mengurusinya.
Tapi beliau tetap saja membandel. Hehehe. Beliau sendiri bilang pikirannya bisa kalut, hilang gairah hingga mudah sakit-sakitan bila tidak menyempatkan dirinya untuk melihat-lihat ke kebun. Saya sendiri bingung ini keanehan jenis apa?
Terkadang bila beliau hendak pergi kekebun, kami sengaja tak mau menghantarkannya. Tetapi, beliau tak kekurangan akal dan menumpangi kang ojek yang lewat di tengah jalan tanpa sepengetahuan kami. Sedikit ribet memang. Tapi begitulah fenomena yang terjadi hingga kini. Hehehe
Selama beberapa bulan terakhir ini kami anak laki-lakinya memang sengaja membiarkan rumput-rumput tumbuh di beberapa lahan kebun cengkeh. Dikarenakan untuk menjaga kontur dan kelembaban tanah karena efek musim kemarau yang berkepanjangan.
Rencananya akan dibabat dan dibersihkan seketika musim penghujan menyambang, sebut saja di bulan Desember sekarang ini.
***
Lebih lanjut, berkaitan dengan harga cengkeh yang masih jauh dari harapan tersebut, memang menjadi momok tersendiri bagi kami semua sebagai petani/ pekebun cengkeh. Kami pun bingung dalam penantian panjang, kapankah harganya kembali membaik? Siapa yang sebetulnya bertanggungjawab dalam hal ini? Tidak tahu juga!