Tentu dalam kondisi ini bukan hanya Bapak saya saja yang galau, melainkan pula dirasakan oleh serumpun petani cengkeh yang tersebar di tiga reksa wilayah kabupaten seManggarai raya. Singkatnya terjadi kegalauan yang sifatnya berbetulan dan simultan.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, dengan harga cengkeh yang saat ini jomplang dan jauh dari teori kemakmuran, membuat para petani cengkeh didaerah-daerah merugi jungkir balik. Pun tidak setolok dan iktidal dengan pengeluaran biaya semasa panen dulunya.
"Di rumah masih terdapat 2 ton lebih cengkeh kering. Masih ditimbun di gudang semenjak 2017 yang lalu karena masih menunggu harga yang pas dan cocok untuk dijual"
Berangkat dari kegalauan dan keresahan yang berkecamuk di dalam relung hati, akhirnya sepanjang bulan basah November--Desember ini, Bapak saya memilih untuk mengurungkan niat menanam bibit cengkeh lagi di kebun.
Pun selama empat bulan ini, beliau hampir tak pernah berwisata ke ladang cengkeh miliknya lagi. Semak-semak belukar pun tubuh subur dibawah pohon cengkeh, karena tidak pernah dibersihkan dan luput dari perhatiannya selama ini.
Ikut Larut dalam Perkara
Sebagai anak, saya tentunya ikut larut dalam kegalauan dan kesedihan sang Bapak. Kosekuensi logisnya bahwa, ini perkara rasa jadi kedekatan emosional itu menjadi substansi dasarnya.
Baca Juga: Candela Cengkeh di Tanah Kolang
Bapak saya etos kerjanya memang sangat tinggi. Itu terlihat dari dualisme status dan peranannya. Baik mengemban tugas sebagai guru pun menjadi petani juga. Ini bukan sebuah kebetulan, karena jarang pula ditemukan profesi guru yang rangkap menjadi petani/ pekebun.
Di dalam keluarga juga begitu. Kami anak-anaknya selalu didoktrin dengan ilmu-ilmu dan kursus pertanian, pun pengajaran berbasis ilmu pengetahuan yang lain.