Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Orang Meninggal Bisa Menikmati Persembahan?

11 Desember 2022   06:37 Diperbarui: 11 Desember 2022   07:25 2832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah Orang Meninggal Bisa Menikmati Persembahan Makanan? (gambar: templeofthai.com, diolah pribadi)

Hal yang selalu menjadi pertentangan dalam tradisi Tionghoa adalah memberi persembahan makanan kepada orang yang sudah meninggal. Banyak yang nyinyir, "Emangnya hantu bisa menikmati makanan orang hidup?" Atau semacam peringatan, "memberi makan hantu, nanti didatangi lho... Ih, ngeri..."

Tapi, ada juga yang berdalih jika para hantu kelaparan bisa menikmati makanan yang disajikan. Mereka berargumen jika makanan bekas persembahan rasanya sudah berubah. "Itu karena para makhluk halus mengisap sari-sari makanan."

Lalu, ada yang membalas lagi. Kalau memang begitu, seharusnya para hantu tidak perlu menunggu untuk dipersembahkan. Toh, mereka yang kasat mata bisa saja ke supermarket dan menikmati sari makanan di sana. Bebas, tidak usah dibayar lagi...

Dan alasan logis yang mendukung adalah, makanan yang sudah bermalam pasti tidak enak. Lagipula sudah banyak abu hio yang tumpah.

Perdebatan ini akan terjadi sepanjang masa. Tiada habis-habisnya. Semuanya tergantung persepsi dan keyakinan. Bagaimana dengan umat Buddha?

Umat Buddha mengenal sebuah ritual yang disebut dengan Patidana. Bisa dilakukan kapan saja, tetapi perayaan di Vihara biasanya dilakukan menjelang imlek, saat bulan Cheng Beng, atau pada hari Ulambana (dalam Tradisi Tionghoa disebut juga sebagai Festival Hantu Kelaparan).

Dengan demikian, tidak ada pantangan bagi umat Buddha untuk memberikan persembahan makanan kepada para mendiang.

Tapi, hal ini belum menjawab pertanyaan, apakah orang yang sudah meninggal bisa menikmati makanan yang disuguhkan? Tentu saja iya, tapi syarat dan ketentuan berlaku.

Dalam Paritta Suci Catutirokudda Gatha, dituliskan bahwa seseorang yang mengenang Budi dari leluhurnya di masa lampau, patut memberikan persembahan dana kepada para mendiang.

Persembahan yang telah dihaturkan ini, bisa disajikan kepada Sangha (persaudaraan Bhikkhu), kepada fakir miskin, dan makhluk lain yang membutuhkan. Baik berupa dana, makanan, tenaga, pikiran, maupun kebajikan lainnya.

Dalam hal ini, yang kita persembahkan kepada para mendiang adalah jasa kebajikan. "Aku bertekad, mempersembahkan jasa kebaikanku kepada para leluhur, dan mereka yang sudah meninggal."

Sebagai hasilnya, mereka yang diwakili bisa merasakan kebahagiaan, dan itu akan menambah timbunan kebajikan. Baik kepada diri kita maupun kepada mendiang yang kita wakilkan.

Lalu pada Paritta Adiyasutta Gatha, tertulis: "Atho pancabali kata," yang berarti, telah kusajikan lima jenis sajian (Pancabali), yakni sajian kepada sanak saudara, tamu, sanak saudara yang telah tiada, raja, dan para Dewa.

Persembahan tentu tidak serampangan, bukan karena alam gaib yang mengisyaratkan, namun lebih kepada bagaimana pemikiran manusia. Oleh sebab itu, seringkali kita mendengarkan aturan warisan tentang apa yang diperbolehkan dan tidak terhadap persembahan kepada orang yang sudah meninggal.

Sebagai contoh, sewaktu penulis kecil dulu, seringkali saya mendengarkan bahwa makanan yang berduri seperti sirsak, atau yang berbulu kasar seperti rambutan, bukanlah makanan yang pantas disajikan.

Sebabnya orang Tionghoa memiliki filsafatnya tersendiri. Duri itu tajam, menyakitkan. Hidup tidak seharusnya demikian. Begitu juga dengan berkulit kasar, laksana sebuah harapan, hidup harus yang mulus-mulus saja. Sah-sah aja sih...

Demikian juga dengan makna sam-seng, alias persembahan tiga macam daging yang mewakili tiga habitat kehidupan. Darat yang biasanya babi, ikan dari laut, dan ayam yang mewakili unggas.

Lebih lanjut, babi melambangkan kemakmuran, tetapi juga sebagai peringatan agar sanak saudara tidak seyogyanya mencontohi kehidupan babi yang malas. Lalu ada ayam yang rajin bangun pagi, dan ikan yang kehidupannya bebas mengarungi lautan luas.

Untuk kategori buah pun ada artinya. Jeruk berarti nama yang harum, apel sebagai manis budi, pisang mewakili kejujuran, tebu sebagai lambang perlindungan.

Begitu pula permen dan kue yang manis. Semuanya baik maknanya. Kue mangkuk bermakna kemajuan dan kesuksesan, lalu kue lapis mengartikan hoki yang berlipat-lipat. Kue Ku yang berbentuk kura mengiringi harapan usia panjang.

Lalu ada juga beberapa sajian khusus, seperti makanan kesukaan mendiang selama hidupnya. Terlepas dari apakah sang mendiang menikmatinya, bagi sanak saudara itu adalah perlambangan "ingat akan budi."

Dengan demikian, makna simbolik ini sebenarnya dilakukan untuk mengingatkan kita kepada hal-hal baik. Terkait kehidupan kita yang sekarang, di masa lalu, dan masa depan yang akan disambut.

Lalu, apakah para mendiang bisa menikmati makanan yang disajikan? Biarkanlah kita sendiri yang berkutat dengan persepsi masing-masing. Yang penting, selalulah berkehendak baik dengan mengucapkan dengan sungguh-sungguh;

Semoga Seluruh Makhluk Hidup Bahagia. Sadhu... Sadhu... Sadhu... (STD)

**

Tangerang, 11 Desember 2022
Penulis: Setia Darma, Kompasianer Mettasik

Dharmaduta | Penulis |Dosen | Trainer | Pensiunan ASN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun