Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ini Tentang Hati

9 September 2022   06:06 Diperbarui: 9 September 2022   06:07 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini Tentang Hati (gambar: wallpaperbetter.com, diolah pribadi)

Matahari belum menyingsing sepenuhnya, ketika aku kembali ke rumah. Kubuka pintu pagar yang terbuat dari bambu dan motor tua ini segera kuparkirkan di teras. Seulas senyum segera menyambutku ketika pintu depan terbuka.

"Ayah bawa apa? Nasi uduk, ya?" tanyanya sambil mengambil kantong plastik merah di tangan kananku.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Kuelus rambut ikalnya dan mata itu berbinar. Dia lalu berjalan mendahuluiku menuju dapur kecil yang terlihat dari tempatku berdiri. Rumah tipe 21 ini memang meringankan tugas istriku membersihkan rumah. Asih selalu tersenyum lebar, bila aku mengatakan alasan itu ketika menggodanya.

"Nasi uduknya wangi sekali, Yah," ucap Rara sambil menyodorkan sepiring nasi uduk ke tanganku. Lalu dia berbalik dan membawa sepiring nasi ke dalam kamar. Asih sedang kurang sehat, itu sebabnya aku belikan nasi uduk di warung depan.

Tak lama Rara kembali ke dapur dan aku melihat dia membawa kantong merah itu sambil berjalan ke arahku.

"Kenapa, Ra? Kok, Rara enggak sarapan?"

"Ayah beli nasi uduknya kebanyakan, nih. Sisa dua bungkus," jawabnya sambil mengambil sebungkus nasi untuknya.

"Sengaja belinya dilebihin. Ayo, Rara cepat sarapannya. Abis itu, ikut ayah, ya."

"Ke mana?"

"Nanti ayah kasih tahu, kalau sarapannya sudah habis."

-----****-----

Rara memelukku erat ketika motor melaju di jalan kecil dekat pasar. Di ujung jalan ini terdapat sebuah gubuk kecil yang reot. Motor kuhentikan tak jauh dari ujung jalan dan Rara menatapku penuh tanya.

"Itu rumah siapa, Yah?"

"Ada kakek yang tinggal berdua sama cucunya di sana. Ayah pernah nganterin kakek itu waktu ketemu di pasar. Nanti Rara kasih nasi uduk ini ke kakek itu, ya," ucapku sambil menggenggam tangannya.

Rara mengangguk dan tak bertanya lagi. Kami melangkah mendekat dan dari sela pintu yang tak tertutup rapat, aku melihat laki-laki tua itu sedang berbaring. Matanya tertutup dengan alis yang berkerut. Tangan kanannya terlihat memegang perut.

Segera aku mengetuk pintu dan mata yang terpejam itu terbuka perlahan. Kuucapkan salam dan suara lirih itu terdengar. Tak menunggu lama, aku dan Rara segera menghampiri dan wajah pucat itu terlihat jelas. Rara segera mengambil nasi uduk dan membukanya.

"Makan dulu ya, Kek. Nasi uduknya masih anget, nih."

Mata laki-laki tua itu terlihat bercahaya. Aku membantu memegang kedua tangan yang terlihat gemetar, membantu bapak tua itu agar bisa duduk dengan nyaman. Perlahan, suapan demi suapan masuk ke dalam mulutnya dan tepat ketika nasi itu habis, seorang anak laki-laki berdiri di ambang pintu.

Wajahnya terlihat bingung dan ketika matanya melihat kertas nasi yang telah kosong, dia menarik napas lega. Dengan menunduk, dia melangkah menuju meja kecil dan mengambil segelas air. Diberikannya gelas itu ke tangan kakek tua dan dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih, Pak. Sudah memberikan kakek saya sarapan. Dari pagi, saya sudah pergi ke pasar. Nunggu disuruh ibu-ibu bawain barang belanjaan. Saya udah dapet uang, tapi belum cukup untuk beli nasi. Saya pulang sebentar karena saya haus."

"Sama-sama, Nak. Ini, ada satu bungkus nasi lagi buat kamu. Ayo, sarapan dulu. Biar, tenaga kamu kuat untuk kerja lagi di pasar," ucapku sambil menyerahkan sebungkus nasi uduk ke tangannya.

"Terima kasih, Pak," jawabnya lirih. Dia menunduk sejenak lalu kembali menatapku. "Maaf, Bapak dan ade enggak disuguhin air."

Aku tersenyum sambil menepuk bahunya pelan. Tak lama, aku dan Rara pamit dan berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih.

"Ra, apa yang Rara rasa waktu melihat kakek tadi makan nasi yang Rara kasih?" tanyaku ketika kami berdua sudah sampai di rumah.

"Rara senang, Yah. Kasian, kakek tadi pasti kelaparan. Untung Ayah lebihin beli nasi uduknya."

"Sebenernya, uang ayah enggak berlebihan, Ra. Tapi, memberi itu enggak harus nunggu kita jadi orang kaya dulu. Memberi itu masalah hati. Dengan memberi secara tulus seperti yang tadi kita lakuin, yang menerima senang, hati kita juga senang."

"Iya, Yah. Kakak yang tadi sampai mau nangis ya, Yah. Senang lihat kakeknya udah sarapan."

Aku mengangguk dan ada rasa hangat mengalir di hati.

**

Jakarta, 09 September 2022
Penulis: Metta Pratiwi, Kompasianer Mettasik

Psikolog | Praktisi Pendidikan | Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun