Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Tujuan Hidup Melalui Perjuangan Hidup

16 Juni 2022   04:35 Diperbarui: 16 Juni 2022   04:40 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memaknai Tujuan Hidup Melalui Perjuangan Hidup (gambar: neurohacker.com, diolah pribadi)

Tibalah mereka di depan sungai yang arusnya sangat deras karena hujan yang tanpa henti sejak kemarin. Patacara sangat lelah dan letih selama perjalanan tersebut, belum lagi saat dan setelah dia melahirkan anaknya. Kini dia harus menyeberangi sungai yang berarus deras dan tinggi bersama kedua anaknya.

Dia berpikir, "sangatlah tidak mungkin untuk bisa menyeberangi sungai yang arusnya deras dan tinggi bersama kedua anak ini apalagi kondisi saya masih sangat lemah".

Patacara memutuskan untuk menyeberang sungai dengan anaknya satu persatu. Dia menyuruh putra tunggalnya untuk menunggu dirinya kembali setelah menyeberangi sungai dengan bayi yang berumur satu hari.

Patacara memegang bayinya dengan kedua tangannya erat-erat dengan mengarah ke atas agar bayi tidak hanyut dan basah oleh arus sungai. Sekuat tenaga dia melawan arus. Kakinya mencoba menginjak dasar sungai. Sangat berhati-hati karena jika tidak, dia akan terbawa arus beserta si bayi.

Akhirnya dia berhasil menyeberangi sungai tersebut dengan usaha yang keras. Ada perjuangan dengan tekad dan semangat yang tangguh meskipun hatinya hancur setelah kehilangan suaminya. Dia meletakkan bayinya dengan aman agak jauh dari tepi sungai.

Sekarang dia harus balik menyeberangi sungai untuk menjemput anaknya yang pertama. Dia mengira bayinya akan aman saja karena tidak ada seorang pun di sana. Lalu dia mulai menyeberangi sungai yang mengalir deras. Sampai di pertengahan sungai, dia mendengar dan melihat seekor burung elang yang besar menghampiri si bayi. Bayi tersebut terlihat sebagai makanan yang lezat bagi elang.


Patacara berteriak dan melambaikan tangannya untuk menakuti elang tersebut. Tetapi elang tersebut tidak takut dan tidak peduli. Elang segera menangkap dan membawa bayi terbang sebagai santapannya.

Patacara menangis dan berteriak, bercampur aduk semua duka yang dialami saat itu. Bayi itu hanya bersamanya dalam waktu sehari dan sekarang harus menjadi santapan bagi burung elang. Dia terus berteriak sambil melambaikan tangan: "Bayiku, bayiku. Bawa kembali dia!"

Anak yang pertama melihat dan mendengar teriakan Patacara. Dia mengira ibunya memanggil dirinya dan langsung saja dia melangkah ke dalam sungai. Secepat arus mengalir, secepat itu pula sungai menarik putra pertamanya ke dalam arus dan hanyut terbawa di dalamnya. Patacara melihat anaknya sendiri terbawa arus. Dia tidak bisa mengejar anaknya dan hanya bisa terpaku dalam duka nestapa.

Dia tidak bisa menerima semua itu. Bagaimana mungkin dia kehilangan suami, dan kedua anaknya berturut-turut dalam hitungan hari. Dia hanya bisa merasakan kegelapan. Tidak bisa berpikir banyak. Hanya ada rasa kehilangan atas orang-orang yang dia cintai.

Hanya ada sedikit asa pada dirinya yang tersisa untuk bertemu orang tua dan saudara-saudara lelakinya di kota Savatthi. Dia hanya bisa berjalan dengan perasaan hampa. Sampailah Patacara di kota dan bertemu seorang pria dan dia menanyakan bagaimana dengan keadaan keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun