Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Agama Buddha Toleran terhadap Tradisi?

31 Januari 2022   04:48 Diperbarui: 31 Januari 2022   05:35 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah Agama Buddha Toleran Terhadap Tradisi? (ngprague.cz)

Dalam beberapa kesempatan saya sering mendengar dan mendapat pertanyaan, apakah agama Buddha toleran terhadap tradisi? Atau justru sebaliknya, apakah agama Buddha memiliki tradisi yang tidak bisa diganggu gugat?

Terlebih menyambut imlek, kelenteng ramai dikunjungi. Asap dupa membumbung hingga ke atas langit, makan malam bersama keluarga, hingga berbaju merah pada saat imlek nanti.

Apakah itu semua adalah tradisi agama Buddha? Apakah itu tidak berlaku bagi pemeluk agama lainnya? Atau itu bukanlah tradisi asli Agama Buddha?

Sepanjang yang saya ketahui, agama Buddha adalah agama yang sangat toleran terhadap tradisi. Apakah benar demikian? Mari kita simak tulisan ini sehingga kita bisa memahami dan menjalankan seluruh bentuk tradisi dengan lebih bijaksana dan bermanfaat.

Jadi, terlepas dari imlek adalah tradisi agama Buddha atau bukan, juga sudah tidak penting lagi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata toleran artinya; bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Sedangkan tradisi adalah; adat kebiasaan turun temurun (nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.

Jadi maksud dari toleran terhadap tradisi adalah sikap menghargai kepercayaan yang berbeda yang merupakan adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat.

Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha menegaskan bahwa ketika kita menerima tradisi, maka kita harus mencoba tradisi tersebut dan menguji sepenuhnya dengan menjalankannya sesuai pengertian yang benar dan penuh kebijaksanaan.

Jika tradisi itu masuk akal, tidak merugikan diri sendiri, orang, dan mahluk lain, serta mendatangkan kebahagiaan bagi kita dan kesejahteraan bagi banyak orang, dan mahluk, maka seharusnya kita bisa menerima dan mempraktikkan tradisi dan adat itu. Bukankah ada istilah Local Wisdom?

Sebagai contoh, persembahan dan doa kepada Dewa Dapur adalah tradisi yang dilakukan pada saat menjelang imlek. Tepatnya setiap tanggal 26 bulan 12 imlek.

Syaratnya adalah menyajikan persembahan yang manis-manis. Konon agar sang Dewa Dapur dapat melapor ke Kaisar Langit tentang perilaku kita yang baik-baik saja.

Lantas, apakah sebagai umat Buddha, kita langsung bisa menerima atau justru menolak mentah-mentah tradisi tersebut?

Tidak sobat. Jangan diterima buta-buta.

Transformasikan pemahaman tersebut dalam makna yang lebih sederhana. Bahwa tradisi ini memiliki manfaat. Mengajarkan kepada kita untuk selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik sepanjang hidup.

Memberikan persembahan makanan dan minuman (amisa dana) kepada sebuah entiti yang pantas dihormati juga adalah perbuatan baik. Itu adalah bentuk praktik dari Mangala Sutta.

Selain itu, mengucapkan tekad (patthana) agar amisa dana yang kita berikan beserta seluruh perbuatan baik yang telah kita lakukan, senantiasa dapat membawakan kebahagiaan bagi para leluhur, orang yang kita cintai, dan seluruh mahluk di dunia ini. Tidak lupa juga berdoa agar "Semoga Seluruh Mahluk Berbahagia."

Tidak seyogyanya juga kita menolak, hanya karena Dewa Dapur tidak pernah menunjukkan batang hidungnya. Karena jika itu dilakukan, maka Anda akan menimbulkan pertentangan dan pertengkaran yang tidak perlu dengan mereka yang meyakininya.

Suatu tradisi yang sudah turun-temurun, adalah warisan yang harus dihargai. Meskipun terkesan kuno, namun ia juga mengandung makna ajaran yang bermanfaat bagi para anak dan cucu.

Contoh lainnya lagi adalah Angpao.

Secara tradisi, uang dalam amplop merah adalah lambang keberuntungan menyambut tahun yang baru saja berlabuh.

Orang-orang tua memberikan angpao kepada anak-anaknya, sementara generasi muda memberikan angpao kepada para sesepuh. Semuanya disertai dengan doa dan pengharapan yang bagus. Baik sebagai ucapan terima kasih, ataupun sebagai harapan untuk hidup lebih hoki.

Dalam ajaran Buddhis, ada Katannukatavedi. Artinya adalah ucapan terima kasih kepada orang tua. Inilah yang tertuang dari makna pemberian angpao kepada para sesepuh kita.

Sementara pemberian angpao kepada anak atau orang yang usianya lebih kecil, bisa juga disebut sebagai Dana Paramita. Berdana kepada mahluk yang harus dilindungi. Apakah anak-anak, ataupun manusia yang kondisinya lebih lemah.

Uang yang mereka dapatkan mungkin tidak akan mereka gunakan. Namun, sebagai orang yang lebih tua, kita patut mengajarkan mereka untuk berbagi. Mengajarkan mereka untuk menumbuhkan sikap empati sekaligus simpati.

Tahun Baru 2022 ini adalah tahun Macan Air. Marilah kita maknai dengan mempraktikkan kebajikan berdana. Jangan sungkan untuk memberikan angpao kepada sanak keluarga dan para sahabat.

Tapi, bisa juga kita memberikan angpao kepada orang-orang yang membutuhkan. Seperti berdana untuk menyokong pembangunan Rumah Ibadah, sekolah, atau rumah-rumah yatim, piatu, dan jompo.

Dalam Buddhisme, pemberian dana ini dikategorikan sebagai Thavara Dana atau Dana yang bisa bertahan lama. Manfaatnya bisa dirasakan oleh lintas generasi.

Dalam Canki Sutta, Sang Buddha juga mengatakan bahwa Menerima Tradisi Lisan adalah salah satu dari lima cara melestarikan kebenaran.

Kalau kita mau tinjau lebih jauh lagi, masih banyak Sutta yang menjelaskan tentang betapa tolerannya agama Buddha terhadap tradisi.

Oleh karena itu marilah kita merayakan dan menjalankan tradisi dengan landasan pengertian benar serta tetap jalankan Prokes 5M di masa pandemi ini.

Selamat Tahun Baru Imlek 2573 / 2022

Semoga semua mahluk berbahagia

**

Tangerang, 31 Januari 2022

Penulis: Sima Budy untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun