Mohon tunggu...
grover rondonuwu
grover rondonuwu Mohon Tunggu... Buruh - Aku suka menelusuri hal-hal yang tersembunyi

pria

Selanjutnya

Tutup

Politik

Militer Indonesia Butuh Revolusi Mental

5 Oktober 2017   06:53 Diperbarui: 11 Mei 2019   05:06 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada era ORBA hegemoni militer tersebar diseluruh institusi sipil. Presiden, menteri-menteri, duta Besar, gubernur, walikota, bupati, sampai kepala desa dijabat oleh personal militer.

Bahkan pada departemen-departemen yang sangat tehnis sifatnya, seperti departemen agama, pendidikan, perdagangan, pertambangan, diduduki oleh militer. Dirjen, Irjen, mayoritas dijabat oleh jenderal-jenderal pensiun, terutama dari TNI Angkatan Darat.

Diera  ORBA militer punya jata kursi di DPR dalam jumlah yang signifikan tanpa melalui proses pemilihan umum.  Sementara itu  Golkar yang menguasai parlemen diatas 80 % juga dikuasai oleh militer.

Jenderal-jendral setelah memasuki pensiun hampir pasti mendapat jabatan sipil yang strategis. Jika tidak mendapat jabatan dalam pemerintahan, biasanya mereka menjabat sebagai komisaris di BUMN atau diperusahan besar milik konglomerat yang ada hubungannya dengan Cendana.

Mengapa di era ORBA Militer begitu dominan mengendalikan negara? Menurut LetJen Ali Moertopo, memberikan jabatan strategis kepada sipil,hanya akan membuang-buang waktu saja. Energi habis pada perdebatan ideologis, tapi karya nyata tidak ada.

Memberikan jabatan strategis kepada sipil kata Ali Moertopo lagi, akan mengakibatkan inefisiensi yang tidak perlu. Kondisi Indonesia yang miskin dan tertinggal, butuh kerja cepat dan efisien. Hanya sistim komando militerlah yang efektive mengeksekusi program pembangunan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.

Pembangunan tidak akan berjalan mulus jika diganggu pertarungan ideologis kiri lawan kanan. Pembangunan tidak akan lancar jika diganggu oleh ancaman separatisme. Karena itu pendekatan stabilitas keamanan dijadikan argumen pembenaran, untuk menempatkan militer pada pos-pos sipil yang strategis.

Alasan sampingan lain yang kemudian menjadi dominan adalah, supaya militer mendukung kekuasaan Soeharto. Para petinggi militer diberikan jabatan sipil serta  fasilitas istimewa supaya mereka  tidak menggangu kekuasaan presiden Soeharto. 

Dengan demikian Militer diera ORBA telah menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Militer terutama para perwira tingginya menikmati privelege dalam sistim pemerintahan ORBA. Hal itu sebenarnya bertentangan dengan kosep dwi fungsi ABRI

Privelege yang dinikmati personal militer di zaman Soeharto,  tidak berlaku lagi diera pemerintahan Jokowi. Itu sebabnya para jenderal pensiun yang jumlahnya banyak, yang tidak punya jabatan apa-apa selain menikmati uang pensiun , sangat potensial menggangu kinerja presiden Jokowi. Mereka gampang tergoda membuat kegaduhan, atau sekedar untuk  menarik perhatian pemerintah supaya potensi mereka  digunakan pada jabatan sipil.

Pensiunan Militer sebenarnya punya peluang untuk menduduki jabatan sipil  strategis. asal saja mereka masuk partai politik. Tapi mereka tidak dilatih untuk berpolitik. Bagi pensiunan jenderal lebih sulit lagi. Karena mereka terbiasa memerintah. Mereka tidak biasa dengan debat dua arah yang berlarut-larut. Mereka dibentuk oleh sistim komando, "Perintah" dan "Siap laksanakan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun