Dalam skenario ini, kegagalan akan ditanggung oleh pemimpin formal (yang sering kali hanyalah pion), sementara sang broker dapat tetap menjaga reputasinya di balik layar dan siap mencetuskan ide baru lagi. Ini adalah cara yang cerdas---atau mungkin licik---untuk memiliki power tanpa accountability.
Membuka Ruang untuk Kepemimpinan Wanita
Ironi dari peran power broker woman adalah bahwa kelompok dan organisasi sebetulnya sedang kehilangan potensi besar dari kepemimpinan yang terbuka.Â
Pengalaman pribadi saya saat berada di sebelah timur Indonesia, sering kali menunjukkan situasi ini: di saat pertemuan formal sedang berlangsung, para perempuan hanya diperbolehkan berada di dapur.Â
Tugas mereka sudah terdefinisikan: menyiapkan minum dan makanan, alih-alih ikut duduk melingkar dan nimbrung membicarakan isu-isu esensial seperti pembangunan atau kebijakan komunal.
Namun, hal lucunya adalah, di belakang panggung, para wanita ini juga "rapat sendiri" dalam momen memasak tersebut. Sambil mengiris bawang dan menuang kopi, mereka mengkritisi setiap hal yang dicuri dengar dari perbincangan para pria di ruang depan.Â
Mereka memiliki pandangan, ide, dan solusi yang terperinci dan seringkali lebih solutif. Mengapa mereka tidak sekalian saja bicara dalam forum formal? Mengapa harus ada "rapat dalam rapat" yang tidak efisien?
Budaya yang membatasi ruang bicara bagi perempuan menciptakan lingkaran setan. Para wanita "yang bukan kaum atas" merasa kurang dihargai di forum utama, sehingga mereka menarik diri dan memilih jalur broker yang informal. Sementara itu, organisasi kehilangan kekayaan ide karena hanya didominasi oleh satu sudut pandang.Â
Padahal, dua kepala yang berpikir, atau bahkan satu ruangan penuh dengan kepala yang berbeda pandangan, akan selalu lebih solutif daripada satu kepala saja.
Sudah saatnya kita secara kolektif berupaya mendobrak tembok-tembok yang membatasi ini. Memberi ruang bagi wanita atau siapa saja yang punya kepedulian, untuk duduk melingkar, berbicara, dan memimpin secara terbuka adalah investasi terbaik untuk kesehatan sebuah organisasi atau komunitas.Â
Ini bukan hanya masalah kesetaraan gender, tetapi juga sumber kekayaan ide yang terabaikan. Ketika wanita diberi ruang kepemimpinan formal, tanggung jawab yang mengikat akan memaksa mereka untuk menjadi lebih berhati-hati, accountable, dan berorientasi pada hasil nyata---mengikis sisi negatif dari peran broker yang bisa lari dari tanggung jawab.
Memberi ruang yang sama kepada perempuan dalam kepemimpinan formal akan menjadi langkah fundamental. Dengan demikian, stigma "A Power Broker Woman" -- seorang pengatur yang bersembunyi -- akan perlahan terkikis, dan berubah menjadi sosok "A Leader Woman" -- seorang pemimpin formal yang terbuka dan bertanggung jawab, membawa perubahan nyata, dan diakui sepenuhnya atas peran dan kontribusinya.Â