Kompasiana - “Your Personal Brand is your weapon in the visibility battle.” - Peter Montoya, The Brand Called You: Make Your Business Stand Out in a Crowded Marketplace (2008). Ini jelas sebuah hembusan inspirasi bagi siapapun yang hendak memulai atau bahkan sudah menjadi content creator.
Branding diri atau personal brand tak melulu soal pandangan esok, lusa, atau di masa depan kita mengharap jadi apa. Itu terlalu jauh. Branding diri adalah sebuah jejak perjalanan, yang sudah kita mulai sejak dilahirkan di bumi ini.
Kok bisa? Ya, nama kita, yang menjelaskan kita anak siapa, mempunyai warisan apa, jelas merupakan sebuah branding yang given.
Nama bisa jadi tombak bermata dua memang. Jadi privilage apabila kita bisa meneruskan legasi positif dari orang tua. Namun, bisa menjadi tantangan besar apabila kita justru merasa insecure dibuatnya. Maka, pilihan ada di tangan kita. Kita akan menuliskan tinta apa lagi di perjalanan selanjutnya, atau memutuskan "meng-klarifikasi" beberapa gores warna yang salah.
Perjalanan hidup sebelumnya, juga berjasa banyak untuk membentuk sketsa branding diri. Hobi, preferensi musik, minat, dan bakat kita, tentu sekalipun kecil, telah membentuk sebuah universe-nya sendiri.
Misalnya ada seorang pemuda yang jago bermain gitar dalam kamar, sekalipun ia tidak menjadi pemusik profesional karena rasa malu, tentu ada satu atau dua orang yang pernah mendengar petikannya. Seandainya suatu saat "rasa malunya" mulai insaf ditelan kebutuhan, bakat alaminya itu akan terkonfirmasi oleh beberapa telinga tersebut.
Bahkan jika takdir mengijinkan, petikan gitar tersebut akan menggema ke seluruh jagad maya, hingga menjadi garapan everlasting yang bisa dibanggakan anak-cucu kelak di dunia nyata.
Menjadi sebuah ajakan di tengah era disrupsi digital ini, di mana setiap individu memiliki potensi untuk menjadi "media" bagi dirinya sendiri, agar bisa tampil dengan nama asli dan menunjukkan wujud nyata. Tidak bersembunyi di balik anonimitas dan persona fiktif.
Tepikan Anonimitas, Saatnya Menggemakan Autentisitas
Fenomena anonimitas, atau penggunaan nama samaran dan avatar, memang menawarkan rasa aman, privasi, dan kebebasan berekspresi tanpa konsekuensi langsung terhadap identitas pribadi.
Ini seolah menjadi benteng pelindung dari hiruk-pikuk dan potensi judgment dari dunia maya yang kejam, plus ingin informasi pribadi tak beredar luas.
Namun, di tengah gempuran informasi dan kebutuhan akan koneksi yang otentik, narasi "bersembunyi" ini mulai kehilangan relevansinya. Dunia kini haus akan transparansi, kejujuran, dan relatability.
Sebuah pertanyaan krusial pun muncul: apakah rasa aman yang semu itu sepadan dengan potensi kerugian jangka panjang dalam membangun personal brand yang kuat dan berkelanjutan? Bagaimana kita bisa memulai petualangan dalam dunia perkonten-an, jika stakeholder tidak menemukan satupun jejak orisinil di media sosial?
Branding diri jelas merupakan investasi paling berharga bagi content creator yang ingin berbicara kepada dunia, dibandingkan dengan tetap terperangkap dalam selubung anonimitas.
Di jantung setiap branding yang sukses, terletaklah sebuah konsep universal: autentisitas. Dalam konteks content creation, autentisitas berarti kejujuran terhadap diri sendiri dan konsistensi antara apa yang ditunjukkan dan siapa diri sebenarnya.
Ketika seorang content creator menggunakan nama asli dan menampilkan wajahnya, ia secara implisit menyatakan: "Inilah saya. Apa yang Anda lihat dan dengar adalah cerminan dari diri saya yang sebenarnya."
Indera pendengaran dan pengelihatan kita, mungkin bisa langsung ngeh saat melalui tulisan saja kita membaca "Halo guys, David di sini." Ya, inilah hasil sebuah branding diri seorang David GadgetIn yang jadi buah manis pohon autentisitas.
Deklarasi ini, meski sederhana, memiliki kekuatan luar biasa dalam membangun kepercayaan dan kredibilitas yang everlasting.
Menurut teori personal branding yang dipopulerkan oleh tokoh seperti Tom Peters, di era informasi ini, setiap individu adalah sebuah brand. "The Brand Called YOU", adalah sebuah tulisannya yang menggetarkan.
Dan seperti halnya brand produk, brand manusia yang kuat dibangun di atas fondasi kepercayaan. Audiens cenderung lebih percaya dan terhubung dengan seseorang yang mereka kenakan nama dan wajahnya.
Ini menciptakan apa yang disebut sebagai social capital, di mana nilai sosial dan profesional seseorang meningkat karena jaringan dan kepercayaan yang terbangun.
Anonimitas, di sisi lain, seringkali menciptakan jarak emosional. Audiens mungkin menikmati kontennya, tetapi koneksi personal yang mendalam, yang esensial untuk loyalitas jangka panjang, sulit tercipta.
Investasi Jangka Panjang dan Gerbang Kolaborasi Tak Terbatas
Menggunakan nama asli dalam content creation bukan sekadar pilihan personal, melainkan sebuah investasi jangka panjang dalam karier dan citra profesional.
Identitas asli seorang creator akan menjadi aset yang terus tumbuh dan berkembang melampaui satu platform atau satu niche konten. Nama saya, Greg Satria misalnya, pada akhirnya, akan menjadi 'human brand' di dunia perselancaran maya yang bisa membuka pintu pada berbagai peluang yang mungkin tidak terduga. Semoga.
Bayangkan seorang content creator anonim yang membangun audiens besar. Ketika ada peluang kolaborasi dengan brand, undangan event profesional, atau bahkan tawaran pekerjaan di industri terkait, identitas anonimitasnya bisa menjadi penghalang.
Content creator yang menggunakan nama asli akan lebih mudah dikenali, diingat, dan diakses oleh calon mitra, sponsor, atau bahkan rekruter. Namanya bakal menjadi portofolio hidup, mempermudah proses verifikasi dan membangun reputasi.
Peluang monetisasi pun menjadi lebih beragam, tidak hanya terbatas pada pendapatan dari platform, tetapi juga dari brand deal, speaking engagement, penulisan buku, atau bahkan consulting.
Selain itu, dalam konteks hukum dan komersial, memiliki personal brand yang terikat dengan identitas asli memberikan perlindungan dan kepastian.
Kepemilikan intelektual, kontrak, dan perjanjian bisnis akan jauh lebih solid ketika berlandaskan pada identitas yang jelas. Anonimitas, di sisi lain, bisa membuat posisi creator rentan terhadap masalah hak cipta atau perselisihan komersial. Ini adalah pertaruhan yang, dalam jangka panjang, seringkali tidak menguntungkan.
Menghadapi Ketakutan dan Merangkul Dunia Digital
Tentu, keputusan untuk tidak anonim tidak datang tanpa tantangan. Ketakutan akan kehilangan privasi, kekhawatiran terhadap judgment dan hate speech, ataupun takut dimonitor debt-collector pinjol, bisa jadi beberapa alasan valid di balik pilihan anonimitas.
Dunia maya memang bisa menjadi tempat yang brutal. Namun, mengatasi ketakutan ini adalah bagian dari perjalanan membangun diri yang kuat di era digital, sembari memperbaiki pondasi di dunia nyata.
Strategi untuk mengelola kehadiran digital dengan nama asli bukan berarti harus mengekspos setiap detail kehidupan. Batasan privasi masih bisa dijaga. Hal terpenting adalah membangun resiliensi digital, yakni kemampuan untuk menghadapi kritik, mengelola komentar negatif, dan tetap fokus pada tujuan utama.
Content creator yang tampil dengan nama asli belajar bagaimana menyaring masukan, berinteraksi secara konstruktif, dan mengabaikan kebisingan yang tidak relevan.
Selain itu, tren saat ini menunjukkan bahwa personal brand telah menjadi entitas bisnis tersendiri. Para creator bukan lagi sekadar hobiis, melainkan profesional yang membangun "perusahaan" pribadi.
Dan layaknya sebuah perusahaan, keberanian untuk menampilkan diri, berinteraksi langsung dengan "pelanggan" (audiens), dan memiliki wajah yang dikenal publik, adalah kunci sukses. Ini adalah tentang memiliki narasi Anda sendiri, mengendalikan citra Anda, dan membangun hubungan yang tulus dengan komunitas.
Pada akhirnya, pilihan antara anonimitas atau nama asli adalah refleksi dari visi jangka panjang seorang content creator. Jika tujuannya hanya untuk bersenang-senang atau berbagi komentar secara kasual dengan kepuasan "like dan comment", anonimitas mungkin cukup.
Namun, jika ambisinya adalah membangun karier yang berkelanjutan, menciptakan dampak yang signifikan, dan membuka gerbang peluang yang lebih luas dan everlasting, maka keberanian untuk keluar dari bayangan dan menunjukkan diri dengan nama asli adalah langkah yang tak terhindarkan.
Rasa malu atau ketakutan awal akan segera tertutupi oleh kekuatan koneksi otentik dan legitimasi yang hanya bisa diberikan oleh keberanian untuk tampil apa adanya di dunia yang haus akan kejujuran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI