Aku merasa sosok Obed Nando bisa menjadi penolong keberlangsungan finansial keluargaku. Untuk uang tabungan, sebenarnya bertahan tiga bulan tidaklah susah jika aku bisa menekan pengeluaran bulanan.Â
Tapi karena Siska, istriku, sudah memutuskan menjadi ibu rumah tangga saat kelahiran anak kedua kami, tentu wajar aku mengajukan pinjaman modal usaha pada temanku sendiri.
Teringat setelah kami diterima di perusahaan plastik, aku sangat bingung padanya Obed. Sebab, sebagai anak rantau dari Malang ia memilih tinggal di kontrakan elit tengah kota Surabaya.
Tetapi semua latar belakang Obed terkuak enam bulan setelahnya. Ia mendadak resign dan membayar penalti perusahaan dua puluh juta rupiah, setelah diterima sebagai auditor Bank Indonesia.
Baru setelah momen resign nya, ia menjelaskan padaku bahwa bapaknya adalah salah satu direktur Bank pelat merah. Ia hanya mengisi waktu enam bulan bekerja di sela-sela penatian pengumuman itu.
"Sebagai temanmu gue ga bisa kasih pinjaman untuk usaha kuliner itu, Tan."
Jleb. Pernyataan itu mendadak menghancurkan potret kilas balik itu. Penolakan oleh klien sudah ribuan kali aku terima, tetapi penolakan dari teman rasanya menusuk tepat di jantung.Â
Aku harus bersiap mengarang cerita kepada Siska agar nama Obed tidak jelek di pikirannya. Mungkin pertimbangan Obed adalah tidak mau pertemanan kita hancur karena uang.
"Owh iya tidak apa-apa, Bed. Aku yang berterima kasih karena kamu mau mendengar ceritaku."
"Sebentar-sebentar, bukan maksud gue buruk, Tan. Lu teman gue kan?
"Iya lah."