Mohon tunggu...
Gregorius APS
Gregorius APS Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi melukis, males kalo ada tugas melukis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Banyak Anak, Banyak Rezeki yang Harus Dicari

29 April 2024   21:20 Diperbarui: 29 April 2024   21:23 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest/ Husni Zein

Masih cukup sering terdengar gaungan "Banyak anak banyak rezeki". Sebenarnya slogan ini sudah ada sejak zaman penjajahan di Indonesia. Kala itu Belanda menanggung hutang akibat Perang Diponegoro (1825-1830).

Belanda yang kalah perang harus menanggung hutang hingga 32 juta  gulden. Van den Bosch mengusulkan diberlakukannya tanam paksa kepada pemerintah guna usaha untuk keluar dari krisis ekonomi yang terjadi. Di sisi lain, Belanda membutuhkan banyak tenaga kerja agar ekonomi dari sistem tanam paksa bisa terus berjalan. 

Hal lain karena dengan banyaknya anak yang dimiliki, beban pajak dapat dibagi sesuai dengan semakin banyak anak yang dimiliki. Dari sini juga dapat ditarik mengapa mbah-mbah, kakek nenek kita bisa punya banyak anak. Kemudian diwariskanlah slogan ini sampai sekarang.

Namun di masa sekarang, masih benarkah banyak anak banyak rezeki?

Di masa sekarang masih banyak orang yang percaya slogan "Banyak anak banyak rezeki" ini. Pasalnya, banyak orang tua yang melihat anaknya sebagai 'investasi', terlebih adanya faktor dimana anak bisa menjadi jaminan untuk masa tua nanti. Banyak orang berpikir bahwa banyak anak artinya banyak sumber pemasukan, sehingga banyak orang yang ingin memiliki banyak anak sebagai sumber pemasukan. 

Masalah muncul ketika anak hadir dalam keluarga yang kurang mampu.

.idxchannel.com
.idxchannel.com

Ketika seorang anak lahir dalam keluarga yang kurang mampu, hidupnya menjadi kesulitan. Sekolah di tempat seadanya, makanan yang kurang menunjang pertumbuhan, bahkan sampai disuruh bekerja di masa belajar dan bermainnya. Hidup sang anak menjadi kurang layak, sehingga masa sekolahnya tidak bisa dialami dengan baik. Sang anak mungkin juga punya mimpinya sendiri. Namun dengan sekolah yang seadanya, gaya hidup 'yang penting hidup', cita-citanya hanya bisa terkubur. 

Belum lagi ketika anak menjadi pelampiasan stres orang tua yang mengalami masalah keuangan.

Namun orang tuanya menuntut timbal balik dengan harapan setinggi-tingginya. Di masa depannya, anaknya diharapkan bisa membiayai orang tuanya, namun dengan pendidikan  sekolah yang hanya sekadar. Alhasil pekerjaan yang didapatkannya juga tidak bisa seberapa. Sang anak disuruh membiayai orang tuanya, hingga adik-adiknya. Jika kita mengamati, mungkin kasus ini bisa kita jumpai di sekitar kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun