Industri kreatif di Indonesia termasuk dalam industri yang tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir serta menjadi salah satu sektor yang didorong maupun digadang-gadang pemerintah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan ekspor budaya (Antaranews, 2025).Â
Namun, bersamaan dengan pertumbuhan kuantitatif, muncul tantangan signifikan terkait bagaimana pelaku kreatif mempertahankan nilai kreatifitas atau orisinalitas di tengah tekanan pasar yang menuntut harga rendah (bahkan seringkali gratis, merujuk pada fenomena "desain gratis" yang bahkan melompati proses penegakan hukum. Bdk Disemadi & Rimadona, 2021) dan hasil cepat terutama pada momen-momen pertumbuhan ekonomi yang berjalan dengan lambat ini.
Tantangan ini dapat kita rumuskan sebagai "dilemma trap" pelaku-pelaku usaha kreatif di Indonesia.
Mengapa ini bisa disebut sebagai sebuah "dilema"? Fenomena industri kreatif di Indonesia dapat dikategorikan sebagai sebuah "dilemma trap" karena para pelaku industri seringkali terjebak dalam situasi di mana setiap pilihan pada level strategis membawa konsekuensi negatif yang sulit dihindari.
Secara etimologis, "dilemma" sendiri berarti kondisi di mana seseorang dihadapkan pada dua atau lebih pilihan yang sama-sama tidak menguntungkan atau tidak ada solusi yang memuaskan (vocabulary.com, 2025), sementara "trap" mengacu pada "perangkap" yang membatasi kebebasan bertindak (Oxford English Dictionary, 2024).
Dalam konteks industri kreatif, para desainer, animator, atau seniman sering terjebak antara mempertahankan nilai profesionalisme dengan resiko kehilangan klien karena harga dianggap "terlalu tinggi" atau menurunkan tarif untuk menyesuaikan ekspektasi pasar yang cenderung menuntut karya cepat dan murah (amati, tiru, modifikasi).
Akibatnya, muncul "vicious cycle" (lingkaran setan) di mana standar harga dan kualitas terus menurun, sementara ekspektasi konsumen semakin meningkat.Â
Kondisi inilah yang menjadikan ekosistem kreatif terperangkap dalam struktural "dilemma trap": ketika idealisme profesional berbenturan dengan realitas ekonomi pasar yang tidak stabil dan "undervalued" terhadap kerja intelektual.Â
Fenomena ini sejalan dengan konsep "Commodification of Creativity" --- bahwa kreativitas dan produk budaya mulai diperlakukan seperti komoditas yang bisa diproduksi cepat dan dijual murah.