Misalnya dalam penelitian di Bali tentang produk industri kreatif yang dikonsumsi oleh sektor pariwisata, ditemukan bahwa rasa autentivitas produk sering tergeser karena tuntutan homogenitas pasar dan komodifikasi budaya (Prasiasa et al, 2023).
Penelitian ini menunjukkan di Bali, produk kreatif yang awalnya dibangun atas dasar keunikan budaya lokal dan autentisitas mulai berubah menjadi produk massal yang lebih homogen untuk memenuhi selera turis.
Hal ini menimbulkan tekanan agar kreator memproduksi cepat dan murah, sehingga ide, riset budaya, atau kualitas sering dikorbankan.
Kondisi ini menghasilkan creative compromise, di mana para kreator tetap hidup secara ekonomi tetapi kehilangan ruang kebebasan artistik sebuah bentuk "jebakan sistemik" yang sejajar dengan dilema para desainer digital di sektor komersial (seperti logo, branding, dan konten kreatif).
Meskipun pemerintah dan badan kreatif sering mempromosikan ekonomi kreatif dengan slogan seperti "kreatif, inovatif, berdaya saing", praktek di lapangan menunjukkan banyak pelaku kreatif (terutama UMKM dan freelancer) kesulitan menetapkan harga yang mencerminkan nilai kerja mereka (Atmaji, 2019, Halim et al, 2022).
Ini karena klien sering tidak memahami maupun tidak menghargai bahwa desain, branding, riset, revisi, dan orisinalitas adalah bagian yang tidak bisa dipangkas bila ingin hasil yang profesional.
Literatur internasional menyebut adanya fenomena "race to the bottom" sebagai kompetisi destruktif di mana pelaku bersaing terutama berdasarkan harga rendah, bukan kualitas atau nilai tambahan (Stiglitz et al, 2006; Graham et al, 2017).
Meskipun belum banyak yang menulis secara empiris di Indonesia tentang "race to the bottom" di jasa kreatif, bukti-bukti kualitatif dan observasi pasar mendukung bahwa fenomena ini terjadi, terutama dalam penawaran jasa desain di media sosial, marketplace, atau platform freelance (fenomena desain harga Rp 5000-10.000) (Simatupang et al, 2012).
Kedatangan AI dan generative tools dalam desain saat ini dianggap memperparah dilema ini, karena memungkinkan pembuatan desain cepat dan murah.
Namun, seperti dibahas dalam penelitian "AI, Aesthetics and Profit in Commercialization of Arts: Revisiting Adorno's Paradox" (Sari, 2024), muncul paradoks bahwa walau teknologi bisa meningkatkan produktivitas dan efisiensi, terdapat resiko bahwa nilai estetika dan integritas artistik akan terkompromi jika tidak ada kontrol kreatif dan profesional yang kuat. Terutama di saat momen masyarakat belum teredukasi sepenuhnya mengenai nilai dari karya kreatif.