Mohon tunggu...
Gregorius Berthon Mbete
Gregorius Berthon Mbete Mohon Tunggu... Penulis - Cla Pilibi

Misionaris Claretian

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Upacara Bendera dan Model Pendidikan

24 November 2020   08:03 Diperbarui: 24 November 2020   08:09 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pasti tulisan ini lebih cocok pada waktu merayakan hari kenegaraan (Sumpah Pemuda). Tetapi saya ingin saja berbagi di situasi yang tidak biasa ini. Demikian.

Kisah mengenai Sumpah Pemuda yang saya alami, atau yang lebih tepatnya bagaimana upacara bendera memperingati Sumpah Pemuda saya alami sudah dimulai sejak saya duduk dibangku kelas 1 Sekolah Dasar Katolik Don Bosco 2 di Kupang pada tahun 1993. 

Memang benar apa itu upacara bendera bagi saya waktu itu sangat tidak paham, apalagi tentang Sumpah Pemuda. Saya - mungkin juga kami anak-anak kecil - mengikuti upacara bendera tiap hari senin adalah sebuah kewajiban. 

Sebuah keharusan dari pihak sekolah. Kalau tidak hadir dan berdiri rapih berbaris dengan baju disisip, pasti kami ditegur oleh para guru. Tegurannya beragam. Ada yang diterapi dengan penggaris panjang 1 meter, tebal 3 centimeter, yang dipukul di bagian pantat, ada yang yang dicubit di bagian hidung, atau ada yang dicubit di bagian pangkal paha dan lain-lain. 

Pengalaman seperti demikian membentuk kami (atau saya sendiri) untuk berpikir sepuluh kali kalau tidak ingin ikut upacara bendera (kecuali memang karena sakit parah dan ada keterangan dokternya) apalagi perayaan khusus seperti Sumpah Pemuda. 

Tahun yang kedua sampai tahun yang ketujuh mengikuti upacara bendera bagi saya sama saja seperti pertama kali saya mengikutinya. Nilai tambahnya adalah hanya sebatas relasi superfisial semata, yaitu datang lebih awal kadang-kadang dan berbaris di tempat yang agak teduh karena beberapa pohon yang berdiri di depan sekolah kami. 

Setelah memasuki tahun kedua di sekolah lanjutan tingkat pertama tahun 2000, barulah saya memahami apa itu upacara bendera dengan baik, juga tentang Sumpah Pemuda. Tetapi ini pun belum mampu mengangkat saya dari trauma dipukul lantaran tidak ikut upacara.

Hafalan-hafalan materi tentang wawasan kebangsaan waktu enam tahun duduk di bangku sekolah dasar, sedikit banyak membantu pengertian saya. 

Upacara setiap senin dan secara khusus Sumpah Pemuda bagi saya waktu itu adalah masih berupa kewajiban yang ditambah dengan kesadaran akan perjuangan mempertahankan bendera Merah Putih di Gedung Yamato kala perang kemerdekaan. 

Bagi saya upacara bendera adalah saat di mana kepala sekolah memberikan amanat yang panjang dan menjelaskan tentang apa dan bagaimana menjadi bangsa Indonesia. 

"Orang Indonesia yang baik adalah mereka yang selalu menghormati bendera merah putih dan memberi penghormatan ketika dikibarkan juga ketika tidak dikibarkan", demikian kepala sekolah. 

Pemahaman ini berubah ketika saya duduk di tingkat terakhir sekolah menengah atas tahun 2003. Saya menggarisbawahi bahwa sekalipun orang tidak ikut upacara bendera, penghormatan terhadap bendera kebangsaan tidak pudar. Maka, saya jarang ikut upacara bendera sejak saat itu (bisa jadi ini pengalaman yang tidak baik ditiru). 

Karena bagi saya penghormatan terhadap bendera harus dinyatakan lebih kreatif. Salah satu misalnya, ketika berbicara tentang sumpah pemuda, yaitu bersahabat dengan semua orang tanpa memandang dari mana dia berasal dan apa yang dia miliki. Bagi saya ini penjabaran yang sangat konkret daripada mengikuti upacara yang penuh dengan keformalan yang kebanyakan dibuat-buat.

Bagaimana ini bisa menjelaskan model pendidikan di Indonesia? Ki Hajar Dewantara dengan tradisi ke-jawa-annya, menekankan agar para murid mengikuti jalur yang benar dengan semboyan pendidikan yang terkenal itu. 

Pertanyaan tidak penting dari saya, "Mengapa semboyan pendidikan itu tidak ditulis dalam bahasa Indonesia saja?" Tetapi memang harus diakui semboyan ini sudah dipakai di mana-mana dan dijadikan sebagai bagian utuh dari sistem pendidikan di luar Jawa, di seluruh Indonesia. Mengapa ini terjadi? 

Sekadar mengulik sejarah, bagi saya, politik bahasa juga memainkan peranan penting di sini. Orde Baru tentu menggunakan semboyan pendidikan ini untuk "melanggengkan" kekuasaan gaya militernya. Bukan dalam bahasa Indonesia bisa jadi karena dominasi pemikiran, suku serta sentralisasi pemerintahan ada di Jawa.

Kemerdekaan belum sepenuhnya ada di bumi Indonesia. Kemerdekaan, hemat saya adalah bebas menentukan pilihan dalam hidup dan memiliki kemandirian menjalankannya. 

Pemerintah atau pun dinas pendidikan hanyalah sarana agar kebebasan itu dapat diimplementasikan. Seperti contoh, sejak tahun 1993, duduk di bangku sekolah dasar sampai kira-kira tahun 2001 ketika selesai pada sekolah lantujan tingkat pertama, saya masih membaca teks yang dipengaruhi oleh tradisi Jawa. 

Setelah tahun-tahun itu saya melihat beredarnya buku-buku pegangan siswa yang bercerita dan mencerminkan budaya setempat (Timor). Memang kesan canggung dan lucu pertama kali muncul, tetapi mulai menjadi terbiasa dalam perjalanan waktu. 

Saya tidak pasti, apakah itu masih tetap ada ataukah sudah ada perubahan seiring dengan berubahnya kurikulum pendidikan Indonesia. Yang penting bagi saya adalah kemerdekaan itu tidak pernah takut untuk bertindak. Hanya orang bebas saja yang mampu melakukan apa pun tanpa takut. Keterikatan akan sesuatu mungkin saja menghilangkan daya kreativitas seseorang.

Senada dengan itu, model penghormatan bendera yang macam manakah yang perlu ditanamkan dalam sistem pendidikan kita? Apakah model seperti yang pernah saya dan teman-teman saya alami? Ataukah model seperti yang saya refleksikan kemudian ketika beranjak dewasa? 

Tentu saja pengalaman membentuk seseorang dalam bentuk penghormatan ini. Tetapi sebagai bangsa yang beragam secara suku, bahasa, dan lain-lain, model penghormatan yang bagaimanakah yang bisa memberi rasa yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun