Isu pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah memicu polemik nasional karena potensi dampaknya terhadap ekosistem laut dan pariwisata yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Raja Ampat, yang terletak di ujung barat Papua, adalah surga alam yang dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.Â
Gugusan pulau-pulau karst yang menjulang dari laut biru jernih menciptakan lanskap yang memukau. Perairannya dipenuhi terumbu karang warna-warni, ikan tropis, dan berbagai spesies laut langka,.
Ini menjadikan Raja Ampat sebagai destinasi favorit bagi penyelam dan pecinta alam dari seluruh dunia.
Tak hanya bawah lautnya, keindahan darat Raja Ampat juga menawan. Bukit-bukit hijau, hutan tropis yang masih perawan, dan pantai berpasir putih menjadi tempat sempurna untuk ekowisata.Â
Selain itu, budaya masyarakat lokal yang ramah dan masih sangat terjaga menambah daya tarik wisata di kawasan ini.Â
Raja Ampat bukan hanya tempat berlibur, tapi juga ruang untuk merenung akan pentingnya menjaga kelestarian bumi.
Akan tetapi, ternyata tidak jauh dari kawasan pariwisata yang indah dan mempesona ini, ada pertambangan yang sedang  melakukan penggalian sumber alam di sana.
Siapa Pemilik Tambang Nikel di Raja Ampat?Â
Tambang nikel yang saat ini beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat, dikelola oleh PT Gag Nikel, anak perusahaan dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Â
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, PT Gag Nikel memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada tahun 2017 dan memulai operasi pada 2018.Â
Awalnya, pada akhir 1990-an, PT Gag Nikel merupakan perusahaan patungan antara BHP Australia (75%) dan Antam (25%). Namun, setelah pemerintah Indonesia menetapkan Pulau Gag sebagai hutan lindung, kegiatan tambang dihentikan.Â