Terbukanya kran demokrasi pasca runtuhnya pemerintahan orde baru, kini semakin memberi peluang bagi kelompok elite, untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Lobby sana dan lobby sini.Â
Pindah kesana, pindah ke sini, atau kembali lagi ke tempat semula jika kalah berkompetisi dalam persaingan internal kelompok mereka. Loncat ke sana lalu loncat ke sini, mirip kutu loncat yang gemar meloncat dari satu pucuk pohon ke pohon lainnya untuk menikmati suasana barunya.Â
Semua itu dilakukan hanya dengan satu alasan, 'Demi Jabatan" yang terbungkus rapi dalam format, "Karena dikehendaki rakyat, atau negara memanggil".
Ya, jabatan kini benar-benar diburu. Tidaklah mengherankan, ada elite yang telah dipercaya oleh rakyat untuk menyuarakan aspirasinya melalui jalur wakil rakyat, malah dengan enteng mengingkari amanah rakyat. Alasannya, karena ditawar untuk menduduki jabatan tertentu.Â
Tidak hanya itu. Mereka pun bersaing secara terbuka dan cenderung kasar, untuk dicalonkan lagi menjadi pejabat publik daerah melalui ajang Pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Padahal, sisa-sisa 'parfum' pelantikan sebagai wakil rakyat, masih melekat pada pakaiannya.Â
Mengapa ada orang yang suka berburu jabatan? Karena ingin melebarkan kuasanya dan melindungi kepentingan diri dan kelompoknya. Tidaklah mengherankan, jika kemudian perburuan tersebut berakhir dan 'diwisuda' dengan pakaian kebesaran berwarna oranye.Â
Lalu diarak masuk ke hotel prodeo alias penjara. Sebab, tertangkap tangan melakukan praktek suap-menyuap, memakan bagian yang tidak seharusnya ia makan, atau menyelewengkan kuasa yang dimilikinya.Â
Orang-orang seperti cacing kepanasan ini, hendaknya dihindari untuk dipilih menjadi pemimpin bagi kita. Sebab tidak ada sesuatu yang bisa kita harapkan dari mereka untuk memimpin kita, keluar dari kungkungan keterbelakangan, menuju kehidupan yang lebih baik dari sekarang.Â
Orang-orang berciri khas sebagai pemburu jabatan ini, biasanya sangat rakus dan ingin menguasai semua aset penting. Proyek-proyek pembangunan, dikuasai melalui orang-orangnya yang pada akhirnya, proyeknya macet, tak kunjung usai.Â
Penempatan pejabat di bawahnya, juga sering dilakukan bukan atas dasar kapasitas yang mumpuni alias pertimbangan the right man on the right place, Â tetapi berdasarkan pada pendukung politik versus bukan pendukung politik. Yang mendukung dirangkul dan diberi jabatan, yang tidak mendukung dibuang jauh-jauh. Bila perlu, cari alasan untuk di-non job-kan.Â