Mohon tunggu...
R. Graal Taliawo
R. Graal Taliawo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Asli orang Halmahera Selatan-Maluku Utara | Minat "OTAK-ATIK" STATUS QUO | SAYA MENGHARGAI HAK BERKEYAKINAN & MENDUKUNG KEBEBASAN BERAGAMA | MENOLAK SISTEM EKONOMI KOMPETISI SEHAT | Suka makan Nasi Kucing & minum Teh Hangat Manis | www.graaltaliawo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kang Emil: Mari Bertarung Jadi Alternatif!

28 Februari 2016   15:16 Diperbarui: 28 Februari 2016   15:21 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

RIDWAN KAMIL atau Kang Emil meminta masukan khalayak melalui akun facebook-nya terkait pilihan untuk maju di Pikalda DKI Jakata tahun 2017. Banyak komentar yang hadir, baik yang mendukung maupun sebaliknya.

Terhadap masukan dari warga melalui media sosial, Kang Emil jangan meremehkannya, tetapi di saat yang sama masukan tersebut harus disikapi secara proporsional.

Banyak komentar yang ditulis warga bersifat asal, meski sudah pasti tidak semuanya demikian. Dalam arti pengetahuan mereka mengenai komplesitas pembangunan yang sedang berjalan dan dinamika politik Jakarta hari ini sebatas melalui pemberitaan media, itu pun sarat dengan propaganda.

Selama ini, konstruksi dan wacana pemberitaan beberapa media “arus utama” sudah terlampau “rusak” dan sarat dengan kepentingan kelompok politik tertentu. Pilihan-pilihan politik di luar “status quo” didesain sedemikian rupa, sehingga sesaat nampak seakan tidak ada pilihan lain lagi. Harus diakui bahwa wacana yang dibangun ini cukup menyeret nalar pembaca—meski tidak sepenuhnya berhasil—untuk percaya atas pesan “politis” bahwa mencari alternatif pemimpin di luar gubernur Jakarta hari ini adalah sia-sia.

Kritik media atas kinerja gubernur juga seadanya. Tidak ada pemberitaan sebanyak promosi atas klaim prestasinya. Tidak jarang promosi atas klaim keberhasilan kinerja “status quo” ini dibuat sedemikian dramatis. Sebaliknya terhadap kinerja yang buruk, tidak terlihat. Bahkan, kebijakan gubernur yang sarat dengan kekerasan dan penuh dengan pelanggaran atas HAM-pun dikonstruksi sedemikian rupa agar publik melihatnya sebagai sebuah “jalan kebaikan”.

Keberpihakan media yang begitu telanjang ini bisa dilihat dalam banyak hal, termasuk bagaimana media mendesain pemberitaan mengenai calon-calon alternatif di luar “status quo”: Ahok. Yang banyak disorot dan ditampilkan adalah kumpulan “bakal calon lelucon”, sebut saja AD (seorang artis), misalnya.


Desain ekplorasi pemberitaan bukan sungguh-sungguh hendak dilakukan dalam rangka mencari alternatif di luar Ahok, sebagaimana dahulu media pernah ramai melakukan pencarian alternatif di luar Foke. Sebaliknya, desain pemberitaan sejenis itu senggaja dibuat oleh media propaganda agar nalar publik kian diajak mengukuhkan bahwa “status quo” adalah tetap yang terbaik. Narasi pemberitaan sejenis juga dilakukan terhadap bakal calon lainnya. Sebaliknya, ekplorasi dan pemberitaan terhadap bakal calon yang potensial dan memiliki gagasan-gagasan bagus melawan “status quo” tidak disentuh sama sekali.

Akibatnya, publik “pembaca korban media” ini tidak sepenuhnya memiliki banyak referensi dalam membaca dinamika politik dan perkembangan pembangunan Jakarta hari ini. Apalagi, jika mereka bukan penghuni DKI Jakarta, serta bukan pula tergolong orang yang aktif dan peduli dengan kehidupan sosial sehari-hari—pola laku kelas menengah “ngehek”.

Terhadap komentar kelompok kelas menengah “ngehek”—yang dicirikan “hanya teriak kalau kakinya diijak, dan akan kembali menginjak kalau berkuasa—serta kelompok “korban media” sebaiknya dilihat secara bijak, tidak diterima begitu saja.

Lalu apakah Kang Emil perlu maju pada Pilkada DKI Jakarta? Peluang untuk itu mestinya terbuka bagi siapa pun, termasuk Kang Emil. Meski demikian, beberapa catatan ini mungkin perlu sebagai pertimbangan.

Bagi penulis, silahkan saja Kang Emil mengajukan diri jika secara pribadi memang memiliki beban untuk memperbaiki kondisi kehidupan dan tatanan buruk warga Jakarta hari ini. Alasan-alasan etis mengenai belum selesai massa jabatan, bukan lagi hal pokok. Begitu juga dengan banyak komentar terkait perlunya orang baik disebar di seluruh Indonesia, juga sesungguhnya berlebihan jika itu dipakai untuk menghadang Kang Emil untuk ke Jakarta.

Memangnya yang di Jakarta ini sudah baik? Bagi pemujanya, tentu Ya, tetapi sebaliknya bagi yang sedikit kritis terhadap kekuasaan, yang di Jakarta bukanlah “orang baik”. Sebagian kalangan menilai bahwa “status quo” ini tidak lebih sama dengan yang “berkumis” dahulu, bahkan seorang kawan menyebut wajah negara hari ini ditampilkan dengan gaya “kompeni”: Jakarta dibangun dengan mengusur dan didesain hanya bagi kepentingan kelompok tertentu. Jelas “baik atau tidak” itu sesuatu yang subyektf sekali.

Kembali. Terkait pertanyaan Kang Emil untuk maju atau tidak, penulis sebagai penduduk ber-KTP Jakarta, dan juga berdomisili di Jakarta, memiliki beberapa saran sebagai catatan.

Pertama, silahkan Kang Emil datang ke Jakarta jika memiliki gagasan-gagasan alternatif membangun Jakarta di luar kebiasaan buruk Ahok hari ini. Tetapi jika ke Jakarta masih dengan gagasan-gagasan yang sama dan usang, yakni mengkonstruksikan Jakarta hanya menjadi milik segelintir (kelompok) orang, Jakarta dibangun dengan jalan menyingkirkan kampung, menyudutkan masyarakat nelayan pesisir Jakarta, dan orang lemah ekonomi lainnya (bukan memberdayakan dan mengembangkan mereka), lebih berpihak bagi kelompok pemodal besar dan pengembang, maka Kang Emil memang lebih baik di Bandung saja.

Karena Jakarta membutuhkan alternatif!

Kedua, silahkan Kang Emil ke Jakarta. Tetapi kalau pandangan diskriminasi Kang Emil atas kelompok LGBT dan Syiah, masih seperti hari ini, masih sangat menyudutkan keberadaan mereka sebagai warga negara, maka lebih baik Akang di Bandung dan Jawa Barat saja. Konteks Jakarta sebagai kota “terbuka”, tempat berjumpanya banyak potensi perubahan, tidak cocok dengan cara pikir Akang tersebut.

Jakarta adalah kota anti diskriminasi, bahkan sejak dalam pikiran!

Ketiga, Kang Emil silahkan datang ke Jakarta, jika memiliki skenario mengatasi banjir dan kemacetan. Skenario yang dimaksud adalah desain pengentasan kemacetan melalui cara-cara baru, kreatif, dan berani bukan dengan gaya lama yang justru memberikan ruang dan stimulus bagi hadirnya mobil pribadi. Beranikah Kang Emil memberlakukan pajak tinggi bagi mobil pribadi mewah, dan atau melakukan pembatasan penjualannya di Jakarta serta diatur secara ketat penggunaannya di jalanan Ibu Kota?

Begitu juga terhadap banjir, beranikah Kang Emil memberdayakan warga, utamanya mereka yang selama ini kerap dicap dan “diteror” sebagai biang kerok banjir (padahal mereka adalah korban), untuk terlibat dan bekerja sama dengan mereka dalam mengatasi banjir? Banyak komunitas masyarakat di Jakarta ini yang sesungguhnya bisa dilibatkan dalam mengatasi banjir tanpa harus mendiskriditkan mereka apalagi menyingkirkan mereka.

Jakarta butuh pemberdayaan dengan komunikasi layak, bukan stigma dan terror busuk ala Ahok!

Keempat, di Jakarta ini banyak warga yang hidup di bantaran sungai dan menempati lahan negara, mereka tersisih akibat ketimpangan sistem ekonomi dan kekorupan praktek politik kita selama ini. Mereka adalah korban ketidakadilan yang membuat banyak tanah negara “ngangur” kemudian mereka harus kelolah. Beranikah mereka juga ditempatkan sebagai warga negara layak yang patut diberikan ruang dan dan hak untuk hadir? Maukah Kang Emil mendesain regulasi dimana tanah-tanah negara yang sudah dikelolah oleh warga jauh sebelum negara ini ada dengan berbagai aturanya (UU dan Perda) untuk dikelolah bersama warga tanpa harus merampas dari tangan mereka lalu mengusirnya ke Rusun dan atau “dibuang keluar Jakarta”?

Jakarta butuh regulasi tanah yang berpihak pada warga lemah, bukan malah merampasnya!

Demikian catatan ini. Sesungguhnya saran ini juga jauh dari ajakan agar serta merta bahwa Kang Emil harus maju pada Pilakda DKI Jakarta, apalagi  sekadar  untuk mengalahkan Ahok.

Ini lebih dari itu, yakni mau menjadi alternatif bagi Jakarta dan pada akhirnya Indonesia yang lebih maju dan manusiawi.

Jakarta membutuhkan alternatif yang bersifat sistem—bukan figur semata—yang berpihak, jauh dari arogansi kekuasaan, serta menjalankan pemerintahan yang terbuka dengan partisipasi semua warga tanpa kecuali dalam membangun Jakarta bagi semua. Dan andai saja Kang Emil merasa terpanggil untuk itu, maka 2017 adalah kesempatan, dan penulis yakin jika gagasan alternatif membangun Jakarta bisa Kang Emil ajukan, maka semua elemen Jakarta hari ini yang anti “status quo” bisa diajak untuk bekerja sama.

Jadi, mari Kang, bertarung menjadi alternatif!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun