Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Degradasi Demokrasi dan Regenerasi Politik

16 Februari 2020   11:52 Diperbarui: 16 Februari 2020   12:03 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Goris Lewoleba

Belakangan ini jagad politik di Tanah Air sedang  gaduh dan   ramai memperbincangkan beragam isue yang banyak menyita perhatian publik.

Beberapa Isue utama yang kerap menghiasi laman Media Sosial maupun Media Mainstream antara lain, merebaknya pemberitaan mengenai  Virus Novel  Corona yang amat mematikan dari Wuhan Tiongkok.

Demikian juga, ada wacana dan rencana dari sebagian  pihak yang relatif mencengangkan  nurani publik di Tanah Air, yang dilontarkan oleh  Pejabat Publik di negeri ini, terkait dengan upaya untuk memfasilitasi  kepulangan para Kombatan ISIS eks WNI ke Indonesia.

Wacana ini tak pelak  telah menuai banyak kritik dan  penolakan keras dari publik, lantaran rekam  jejak dan perilaku para Teroris ISIS itu tampaknya sudah seperti neraka di dunia, atau bagaikan  mahluk dari planet lain, entah dari planet mana asalnya.

Karena besarnya tekanan publik dan kerasnya penolakan oleh semua pihak, dan terutama dengan mempertimbangkan ketenangan dan keselamatan warga masyarakat Indonesia,  maka pemerintah pada akhirnya menolak rencana kedatangan Teroris ISIS eks WNI itu  ke Tanah Air.

Kecuali itu, ada Isue politik yang lebih menarik perhatian publik terkait dengan Pilkada serentak di tahun 2020 ini, pasalnya akan ada banyak pasangan calon Kepala Daerah yang mengikuti Pilkada dengan Dominasi Elit Politik Membayangi Pencalonan mereka.

Demikian juga,  issue Pilkada Serentak di tahun 2020 ini sedang diberi muatan Politik Oligarki yang akan Mendegradasi Demokrasi serta dapat pula mengancam Regenerasi Politik di negeri ini.

Politik Oligarki

Sebagaimana dilaporkan Litbang Kompas (12/8/2019), terkait dengan Pesta Demokrasi pada Pemilu 2019 lalu,  jumlah Caleg Muda yang berusia 40 tahun ke bawah yang lolos ke DPR periode 2019-2024 turun dibandingkan pada periode 2014-2019.

Dijelaskan bahwa DPR dalam periode 2019-2024 ini, terdapat  hanya 72 orang dari 575 Anggota DPR atau 12,5 persen tergolong dari Generasi Muda. Presentasi ini turun dibandingkan dengan DPR periode 2014-2019 yang mencapai 92 orang dari 560 Anggota DPR  atau 16,4 persen.

Selain  itu, dari 72  Anggota DPR muda yang terpilih pada periode 2019-2024,  sebanyak 50 persen diduga  merupakan bagian dari politik kekerabatan.

Dikatakan demikian, karena sebanyak 36 orang dari 72 Caleg Muda itu, diduga mempunyai relasi kekerabatan dengan elit politik di daerah maupun di tingkat nasional, baik anak,  istri, menantu, maupun cucu dan keluarga dekat lainnya.

Jika diamati secara cermat, maka  fenomena turunnya  jumlah Caleg Usia Muda di DPR kemarin, bukan pada persoalan kualitas anak muda. Tetapi hal ini disebabkan karena dinamika kontestasi yang tak mudah dan  membuat banyak caleg muda berguguran jika tidak mempunyai finansial atau jaringan yang kuat di daerah maupun di pusat.

Oleh karena itu dapat pula dipahami bahwa, sebagian caleg muda yang lolos menjadi Anggota Legislatif  memiliki privilese lebih, seperti misalnya sebagai  anak Pengusaha, anak Kepala Daerah, atau anak dari Elit Partai Politik.

Oleh karena itu, yang menjadi sumber soal adalah bukan karena kurangnya kualitas anak-anak  muda,  yang bertarung dalam Pemilu 2019 lalu, tetapi lebih kepada masalah pada  Sistem Poltik kita. Sistem yang ada membuat anak-anak muda sulit mendapat tempat meski peluangnya amat terbuka.

Terkait dengan situasi tersebut di atas, Wija Wijayanto (2019) menilai bahwa, turunnya jumlah caleg muda terpilih di tengah banyaknya caleg muda, menunjukkan bahwa, partai politik tidak menyiapkan mereka dengan baik. Alih-alih menyiapkan regenerasi dan kaderisasi dengan baik, Partai Politik justeru memunculkan politik kekerabatan dengan peran dan orientasi yang mengarah kepada politik oligarki.

Terkait Politik Oligarki, maka dengan meminjam  Robert Michels dalam karyanya  yang berjudul Political Parties (1915), mengetengahkan bahwa, Oligarki dapat  dimaknai sebagai bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang dijalankan oleh sekelompok kecil elit yang berasal dari suatu  partai politik tertentu.

Sedangkan  Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy (2011),  menempatkan oligarki dalam dua dimensi, dimana  dimensi pertama, menegaskan  bahwa, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Lalu,  dimensi kedua, menegaskan bahwa,  oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka jika melihat realitas yang ada dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak jelas  bahwa oligarki seperti dalam sudut pandang pemahaman Jeffrey  Winters merupakan penyakit sosial politik yang sudah sangat  akut. Hal ini disebabkan, karena  hampir  semua partai politik  di Indonesia pada dasarnya sedang  dikuasai oleh segelintir elite yang oleh   Pierre Bourdie (2018),  disebut sebagai  "Modal Kapital dan Modal Sosial yang kuat".

Sehubungan dengan itu, maka sebagaimana dikatakan oleh Nurrochaman (2018), bahwa di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanisme hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah.

Oleh karena itu,   seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam hal proses pengambilan keputusan, termasuk menentukan siapa yang bakal diusung dalam pileg dan pilkada.

Dengan demikian, menjadi hal yang tidak mengherankan bila mana  dalam konteks usung-mengusung calon Kepala Daerah atau Anggota Legislatif,  partai politik cenderung mengistimewakan figur-figur yang dinilai memiliki Modal Kapital yang besar dan kuat.

Bahkan, kerap  kali figur itu bukanlah merupakan  kader partai,  dan terbilang tidak memiliki basis pendukung yang berafiliasi dengan Partai Politik tertentu. Keputusan partai untuk mengusung calon Kepala Daerah atau  Calon Anggota Legislatif dari jalur non-kader ini tidak jarang menimbulkan polemik di kalangan internal partai politik.

Dan, jika polemik berkaitan dengan hal dimaksud, tidak ditata kelola dengan baik, maka pada akhirnya akan  menimbulkan  apatisme publik terhadap partai politik.

Implikasi lebih lanjut, dapat terjadi  bahwa, kader partai yang telah berjuang dari bawah dan memiliki  potensi yang mumpuni, tentu merasa ditelikung karier politiknya. Dalam situasi dan momentum politik seperti inilah, publik dapat menyaksikan betapa  terjadinya Degradasi Demokrasi dalam praktek berdemokrasi pada  Partai Politik di Tanah Air.

Degradasi Demokrasi

Memperhatikan dinamika politik dan demokrasi di Indonesia pasca Pemilu 2019, tampak terasa bahwa Demokrasi Indonesia sedang  bergerak berbalik arah dari pakem politik yang sesungguhnya.

Situasi ini yang oleh Budiman Tanuredjo (2020) disebut sebagai Kronisme di Era Demokrasi.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa, gejala Kronisme dan Nepotisme mulai semakin mengemuka, demikian juga oligarkipun semakin menguat.

Situasi seperti inilah yang dapat menjadi semacam indikasi bahwa di negeri ini sedang terjadi Degradasi Demokrasi.

Pasalnya, seperti disiyair oleh Budiman Tanuredjo (ibid) bahwa, saat ini rakyat terpinggirkan, kebebasan sipil mulai dikontrol, lalu oposisi tak pernah terdengar, dan kekuatan tengah bersikap apatis atau bahkan mungkin  sudah tiada.

Dalam sudut pandang yang lebih terbuka, dapat pula dikatakan bahwa,  saat ini gurita oligarki dalam partai politik telah  menguatkan asumsi dimana,  partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai penggerak proses  demokratisasi.

Oleh karena itu sebagaimana ditegaskan oleh Nurrochaman (ibid) bahwa,  fungsi kaderisasi  dalam rangaka Regenerasi Politik sedang  macet,  dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah bagi pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah.

Pendidikan politik telah  direduksi  ke dalam kampanye-kampanye yang gegap gempita, riuh oleh berita bohong dan sama sekali tidak mencerahkan masyarakat.  Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat konstituennya semata sebagai obyek politik lima tahunan.

Maka, adalah benar adanya bahwa,  demokratisasi di Indonesia dapat   diasumsikan oleh   Vedi R. Hadiz (2014) sebagai  pengelolaan partai politik yang  masih jauh dari kesan  modern-demokratis sehingga terjebak pada pola oligarkis. Hal itu,  dilatarbelakangi oleh dua hal.

Pertama, kuatnya tradisi patronase dalam tubuh parpol, dimana  seseorang dengan modal kapital dan sosial yang kuat akan dengan mudah menduduki jabatan strategis dalam partai tanpa harus susah payah berjuang dari bawah. Dan yang kedua, belum mantapnya  sistem pendanaan partai politik yang memungkinkan arus besar kapital melumpuhkan aturan-aturan internal partai politik.

Kedua hal ini,  tentu tidak pernah akan berdiri sendiri, apalagi saling berkelindan dalam relasi yang komprehensif.

Mengamati perkembangan dan  dinamika  situasi politik seperti ini maka dapat pula ditegaskan bahwa,  menguatnya oligarki politik seperti yang tampak dalam penjaringan Calon Kepala Daerah di Pilkada Serentak pada tahun 2020 ini, dapat menjadi  semacam  ancaman serius bagi demokrasi itu sendiri.

Dengan demikian, maka proses Regenerasi Politik sebagai mekanisme Kaderisasi dalam Partai Politik di Indonesia, akan tetap menjadi seperti Pungguk Merindukan Bulan.

Dan oleh karena itu,  diharapkan kepada semua pihak yang berkehendak baik, untuk senantiasa mengawasi Partai Politik sebagai Pilar Utama  Demokrasi agar kemunduran demokrasi tidak bisa dibiarkan berlanjut  dan berlalu begitu saja menuju ke arah  jalan ketidakpastian yang tak berujung.

Goris Lewoleba

Alumni KSA X LEMHANNAS  RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Dewan Pakar dan Juru Bicara VOX POINT INDONESIA

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun