Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Komunitas e-NABLE: Menciptakan Tangan untuk Anak-anak Tak Bertangan

21 Desember 2016   06:43 Diperbarui: 21 Desember 2016   08:30 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyebaran para relawan e-nable community, FOTO: enablingthefuture.org
Penyebaran para relawan e-nable community, FOTO: enablingthefuture.org
Proses buatan tangan palsu ini amat sederhana. Desain modelnya sudah ada. Tinggal disesuaikan dengan model tangan si anak, misalnya mungkin perlu diubah di bagian jarinya, atau perubahan lainnya. Kalau desainnya sudah pas, tinggal dicetak.

Selain model yang sudah dibuatkan, harganya juga terjangkau. Wong bahannya dari plastik, harganya bisa ditaksir. Hanya ongkos mesin cetak 3D yang kiranya mahal. Juga dengan lama waktu tunggunya. Tetapi, jika ada lebih dari satu mesin cetak, pekerjaan ini menjadi lebih mudah lagi.

Saat ini, mesin cetak 3D mungkin belum begitu banyak peredarannya. Tetapi, kegunaannya justru mendesak. Bahkan, di beberapa kota besar di dunia, mesin cetak 3D ini juga dibutuhkan di rumah sakit. Beberapa dokter yang berduit bahkan menyelipkan di saku baju mereka, mesin cetak 3D ini. Jika sewaktu-waktu mereka butuh tinggal digunakan saja. Mesin cetak ini misalnya bisa mencetak bulu mata palsu, dan beberapa jenis barang lainnya.

Karena kemudahannya ini, misi e-nable communityini cepat menyebar. Konon, untuk merealisasikannya tidak butuh kantor khusus. Ruang kerja dan gedung sekolah pun bisa. Ini yang terjadi di Amerika Serikat dari hasil kerja sekelompok anak sekolah di sebuah sekolah.

Sekelompok anak-anak pramuka di kota Irmo, di negara bagian Carolina Selatan, AS misalnya membuatkan tangan palsu untuk teman kelas mereka. Mereka belajar menggunakan new technology lalu membuatkan percobaan. Dibantu oleh sang guru Profesor Craft dan dengan bantuan komunitas e-NABLE, mereka menghasilkan satu tangan untuk Alyssa, teman mereka. Tangan itu pun dibuat dengan warna kesukaan yang dipilih oleh Alyssa. Dengan itu, Alyssa pun bisa memegang buku.

Betapa bahagiannya anak ini mendapat tangan buatan, FOTO: enablingthefuture.org
Betapa bahagiannya anak ini mendapat tangan buatan, FOTO: enablingthefuture.org
Kesuksesan kelompok ini mengundang perhatian dari teman-teman lainnya di sekolah. Sejak saat itu, sudah muncul 85 siswa lainnya yang ikut terjun dalam misi ini. Mereka pun bertekad untuk menggunakan waktu luang mereka setelah jam sekolah berakhir. Dengan jumlah peminat yang besar ini, mereka ingin menghasilkan 20 tangan setiap harinya. Tangan-tangan ini akan disebarkan kepada anak-anak yang membutuhkannya di seluruh dunia.


Anak-anak rupanya tak ingin kalah. Mereka ingin meraih yang lebih. Demikian juga dengan misi membuat tangan. Misi ini bahkan menjadi proyek mereka. Bukan saja berhenti menjadi sebuah proyek. Mereka juga ikut mempresentasikan proyek ini dalam ajang kompetisi sekolah-sekolah di 16 negara bagian di AS. Alhasil, proyek bernama Proshetic Kids ini berhasil memenangkan kompetisi. Hasil yang memuaskan sampai-sampai anak-anak ini berkomentar, “Kemenangan ini menjadi sebuah motivasi bagi kami untuk terus melanjutkan proyek kami, memproduksi lebih banyak tangan untuk orang lain yang membutuhkan.”

Andai proyek dari anak-anak di AS ini berjangkit ke anak-anak di Indonesia misalnya di Jakarta, boleh jadi tidak ada lagi anak-anak jalanan di Jakarta. Proyek seperti ini akan membuat anak-anak Jakarta—dan anak-anak Indonesia pada umumnya—berlatih untuk peka terhadap orang lain. Sifat peka itu mesti ditanam dalam kehidupan dan tidak melulu diajarkan di buku lalu hilang begitu saja.

Seorang bocah di Argentina senang dengan kehadiran tangan barunya, FOTO: enablingthefuture.org
Seorang bocah di Argentina senang dengan kehadiran tangan barunya, FOTO: enablingthefuture.org
Dengan proyek seperti ini kiranya, tidak ada lagi anak-anak yang mudah dihasut untuk menjadi pencuri, pembawa bom, perampok, penyebar paku di jalan, dan kejahatan lainnya. Pertanyaannya adalah maukah orang tua di Jakarta dan Indonesia membantu mendidik anak-anaknya secara total untuk peka pada sesama? Tanpa kemauan yang baik dari orang tua, niscaya nilai kehidupan seperti peka terhadap orang akan mental alias terpeleset dari kehidupan anak-anak.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 21/12/2016

Gordi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun