Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Komunitas e-NABLE: Menciptakan Tangan untuk Anak-anak Tak Bertangan

21 Desember 2016   06:43 Diperbarui: 21 Desember 2016   08:30 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangan Asli dan Tangan Buatan, FOTO: enablingthefuture.org

Betapa menderitanya hidup tanpa tangan. Bahkan, kehilangan satu jari pun, membuat seluruh tubuh ikut menderita. Tangan memang berperan penting dalam hidup sehari-hari namun apa jadinya jika kehilangan tangan?

Kehilangan tangan memang membuat penderitaan makin besar. Untuk yang biasa bekerja dengan tangan, tak ada cara lain selain membuat tangan palsu. Tangan ini—meskipun palsu alias buatan—cukup bisa menopang dalam pekerjaan.

Beda dengan mereka yang dari lahir memang tak bertangan. Mereka ini tentunya dianugerahi sarana lain untuk menggantikan peran tangan. Lihatlah beberapa video terkenal di youtube yang menceritakan kehidupan mereka yang tak bertangan tetapi bisa menyaup nasi dan menggosok gigi.

Ide membuat tangan palsu rupanya ide indah untuk diterapkan. Ide ini juga yang dikerjakan oleh sebuah komunitas internasional bernama e-NABLE. Komunitas e-NABLE mau menghadiahkan tangan untuk mereka yang tak bertangan. Mottonya dederhana yakni saya berikan satu tangan, atau saya buatkan satu tangan untukmu.

Untuk merealisasikan idenya, komunitas e-NABLE mengajak terutama kaum muda. Saat ini, komunitas ini mempunyai sekitar 7.000 relawan di 45 negara. Komunitas ini memang ingin menggugah kaum muda untuk memberikan tangan kepada mereka yang tak bertangan.

Tangan yang mereka hasilkan memang bukan tangan manusia yang hidup. Tangan itu—sesuai namanya—hanya tangan palsu. Tapi, tangan palsu itu bekerja sesuai keinginan pemiliknya. Tangan palsu itu memang dibuat atau diproduksi oleh kaum muda yang punya kemauan hati yang baik untuk membantu mereka yang tak bertangan.

Saya tertawa penuh gembira karena punya tangan lagi, FOTO: enablingthefuture.org
Saya tertawa penuh gembira karena punya tangan lagi, FOTO: enablingthefuture.org
Ingat anak-anak korban perang di kota Aleppo-Siria, dan beberapa tempat perang lainnya di dunia. Atau juga anak-anak yang selamat dari gempa bumi dan bencana alam lainnya seperti di Haiti. Banyak di antara mereka yang kehilangan tangan. Entah satu atau dua tangan sekaligus. Atau juga satu, dua, atau tiga jari sekaligus. Betapa berat dan menderita hidup mereka sleanjutnya tanpa tangan. Maka, mereka tentu membutuhkan tangan buatan atau tangan palsu.

Misi e-NABLE sebenarnya lahir dari situasi ini. Misi ini jadi nyata berkat bantuan Ivan Owen. Dialah pencentus dan penemu ide pembuatan tangan ini. Dia juga yang membuat misi saya beri satu tangan untukmu menjadi tersebar ke seluruh dunia.

Kisahnya pun unik. Tahun 2011 yang lalu, dia ingin membantu seorang pengrajin dari Afrika Selatan untuk mendesain tangan. Dia memang membantu membuatkan tangan itu dari bahan plastik. Dia mendesain modelnya di komputer lalu mencetaknya dengan mesin cetak 3 dimensi alias 3D.

Jasa Ivan tidak berhenti di sini. Ivan berpikir jauh ke depan. Ia tidak saja ingin membantu kenalannya yang pengrajin itu. Pikirannya melayang jauh ke mereka yang keadaannya serupa dengan pengrajin itu. Maka, Ivan pun mempublikasikan cara mendesain model tangan yang ia buat di internet. Ia pikir, mungkin hal ini bisa membantu mereka yang membutuhkan tangan buatan dari bahan plastik. Desain tangan inilah yang kemudian menyebar di seluruh dunia dan dipakai oleh banyak relawan untuk mencetak tangan buatan dengan mesin cetak 3D.

Dari relawan di 45 negara—ada yang bilang sudah 50 negara—ini muncul sekitar 2000 tangan buatan sampai saat ini. Sebagian besar dari jumlah ini adalah tangan-tangan untuk anak-anak. Merekalah kiranya yang paling banyak membutuhkan tangan buatan.

Penyebaran para relawan e-nable community, FOTO: enablingthefuture.org
Penyebaran para relawan e-nable community, FOTO: enablingthefuture.org
Proses buatan tangan palsu ini amat sederhana. Desain modelnya sudah ada. Tinggal disesuaikan dengan model tangan si anak, misalnya mungkin perlu diubah di bagian jarinya, atau perubahan lainnya. Kalau desainnya sudah pas, tinggal dicetak.

Selain model yang sudah dibuatkan, harganya juga terjangkau. Wong bahannya dari plastik, harganya bisa ditaksir. Hanya ongkos mesin cetak 3D yang kiranya mahal. Juga dengan lama waktu tunggunya. Tetapi, jika ada lebih dari satu mesin cetak, pekerjaan ini menjadi lebih mudah lagi.

Saat ini, mesin cetak 3D mungkin belum begitu banyak peredarannya. Tetapi, kegunaannya justru mendesak. Bahkan, di beberapa kota besar di dunia, mesin cetak 3D ini juga dibutuhkan di rumah sakit. Beberapa dokter yang berduit bahkan menyelipkan di saku baju mereka, mesin cetak 3D ini. Jika sewaktu-waktu mereka butuh tinggal digunakan saja. Mesin cetak ini misalnya bisa mencetak bulu mata palsu, dan beberapa jenis barang lainnya.

Karena kemudahannya ini, misi e-nable communityini cepat menyebar. Konon, untuk merealisasikannya tidak butuh kantor khusus. Ruang kerja dan gedung sekolah pun bisa. Ini yang terjadi di Amerika Serikat dari hasil kerja sekelompok anak sekolah di sebuah sekolah.

Sekelompok anak-anak pramuka di kota Irmo, di negara bagian Carolina Selatan, AS misalnya membuatkan tangan palsu untuk teman kelas mereka. Mereka belajar menggunakan new technology lalu membuatkan percobaan. Dibantu oleh sang guru Profesor Craft dan dengan bantuan komunitas e-NABLE, mereka menghasilkan satu tangan untuk Alyssa, teman mereka. Tangan itu pun dibuat dengan warna kesukaan yang dipilih oleh Alyssa. Dengan itu, Alyssa pun bisa memegang buku.

Betapa bahagiannya anak ini mendapat tangan buatan, FOTO: enablingthefuture.org
Betapa bahagiannya anak ini mendapat tangan buatan, FOTO: enablingthefuture.org
Kesuksesan kelompok ini mengundang perhatian dari teman-teman lainnya di sekolah. Sejak saat itu, sudah muncul 85 siswa lainnya yang ikut terjun dalam misi ini. Mereka pun bertekad untuk menggunakan waktu luang mereka setelah jam sekolah berakhir. Dengan jumlah peminat yang besar ini, mereka ingin menghasilkan 20 tangan setiap harinya. Tangan-tangan ini akan disebarkan kepada anak-anak yang membutuhkannya di seluruh dunia.

Anak-anak rupanya tak ingin kalah. Mereka ingin meraih yang lebih. Demikian juga dengan misi membuat tangan. Misi ini bahkan menjadi proyek mereka. Bukan saja berhenti menjadi sebuah proyek. Mereka juga ikut mempresentasikan proyek ini dalam ajang kompetisi sekolah-sekolah di 16 negara bagian di AS. Alhasil, proyek bernama Proshetic Kids ini berhasil memenangkan kompetisi. Hasil yang memuaskan sampai-sampai anak-anak ini berkomentar, “Kemenangan ini menjadi sebuah motivasi bagi kami untuk terus melanjutkan proyek kami, memproduksi lebih banyak tangan untuk orang lain yang membutuhkan.”

Andai proyek dari anak-anak di AS ini berjangkit ke anak-anak di Indonesia misalnya di Jakarta, boleh jadi tidak ada lagi anak-anak jalanan di Jakarta. Proyek seperti ini akan membuat anak-anak Jakarta—dan anak-anak Indonesia pada umumnya—berlatih untuk peka terhadap orang lain. Sifat peka itu mesti ditanam dalam kehidupan dan tidak melulu diajarkan di buku lalu hilang begitu saja.

Seorang bocah di Argentina senang dengan kehadiran tangan barunya, FOTO: enablingthefuture.org
Seorang bocah di Argentina senang dengan kehadiran tangan barunya, FOTO: enablingthefuture.org
Dengan proyek seperti ini kiranya, tidak ada lagi anak-anak yang mudah dihasut untuk menjadi pencuri, pembawa bom, perampok, penyebar paku di jalan, dan kejahatan lainnya. Pertanyaannya adalah maukah orang tua di Jakarta dan Indonesia membantu mendidik anak-anaknya secara total untuk peka pada sesama? Tanpa kemauan yang baik dari orang tua, niscaya nilai kehidupan seperti peka terhadap orang akan mental alias terpeleset dari kehidupan anak-anak.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 21/12/2016

Gordi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun