Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengemis Musim Dingin di Pintu Gereja  

14 Januari 2016   06:11 Diperbarui: 14 Januari 2016   07:26 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia merenungkan kata tantangan itu. Sambil memikirkan kata itu, dia melihat lampu merah menyala. Pertanda bahwa dia harus berhenti. Dia harus membiarkan mobil dari arah lain untuk lewat. Dia memarkir sepeda di pinggir jalan. Sambil menunggu lampu hijau, Ilario merasa dingin sekali. Ada udara dingin yang masuk di lengan-lengan bajunya. Dia memang membawa dua jaket tebal sore ini. 

“Tapi kok masih masuk udara yah?” serunya heran. 

Jari tangannya sudah ditutup sarung, leher dililit syal tebal, kepala bertopi, tapi masih dingin. Udara yang masuk melalui lengannya itu memang dingin. 

Karena dingin ini, Ilario kembali mengingat pengemis itu. Dia pikir, dengan dua jaket saja, dia masih merasa dingin, bagaimana dengan pengemis itu? Pengemis itu hanya mengenakan satu jaket. Itu pun bukan jaket untuk musim dingin. Pengemis itu tak bersarung tangan, tak bersyal, tak bertopi. Selain itu, dia duduk di lantai tanpa alas sambil mengulurkan tangannya meminta uang receh. 

“Apakah dia dingin juga?” tanya Ilario pada dirinya sendiri. 

Ilario yakin pengemis itu kedinginan. Tidak seperti dirinya yang meski bersarung, bertopi, berjaket tebal berlapis dua, tetapi masih dingin. Ilario memang merasa dingin. Bahkan dingin sekali. Ilario juga yakin sekali, pengemis itu lebih dingin dari dirinya. Udara dingin ini sudah menembus dua jaket tebalnya dan menusuk langsung di dadanya. Dari dada ke tulang belakang. Udara dingin ini membuatnya mengigil. 


“Kok bisa ya, udara dingin itu bisa masuk?” gerutunya lagi sambil membetulkan jaketnya. 

“Mungkin memang hatiku dingin sekali,” lanjutnya. “Kalau kulit beralaskan dua jaket tebal saja kemasukan udara dingin, apalagi hatiku yang hanya beralaskan kulit tipis di badanku. Hatiku dingin. Dingin sekali sampai aku tak bisa mengayuh sepedaku lebih cepat lagi. Padahal kalau aku mengayuh cepat, tubuhku akan hangat sebentar karena energi yang keluar dari tubuhku.” 

Jadi, sebenarnya ketika dia mengeluarkan energi, tubuhnya akan hangat kembali. Betapa tubuhnya ini memberinya pelajaran berharga. Tidak benar jika orang mengatakan betapa sia-sianya mengeluarkan energi. Energi itu tidak sia-sia sebab dia akan menerima kembali apa yang dia butuhkan. Ilario memang butuh kehangatan. Dan setelah Ilario mengayuh sepeda lebih kencang sampai mengeluarkan banyak energy dia mendapatkan kehangatan itu. 

Beda dengan Ilario, tubuh si Marcello itu pasti dingin sekali. Marcello butuh gerak seperti Ilario. Marcello butuh sepeda agar dia bisa mengayuhnya seperti yang Ilario lakukan. Tapi, bagaimana Marcello bisa lakukan itu jika dia belum punya uang untuk beranjak dari tempat duduknya? 

Ilario akhirnya iba dengan Marcello. Tetapi sebetulnya Ilario bukan saja iba. Ilario harus berterima kasih kepada Marcello, sang pengemis musim dingin itu. Ilario iba karena dia melihat Marcello. Perasaan itu tidak muncul begitu saja. Kalau Marcello itu tidak ada, mana mungkin Ilario bisa iba seperti ini. Mana mungkin Ilario memikirkan betapa dinginnya seorang pengemis di musim dingin seperti ini? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun