Mohon tunggu...
I.G. Jali
I.G. Jali Mohon Tunggu... Guru - penikmat literasi dan suka nasi goreng

... ngalor ngidul sing penting rukun ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Madrasah, Sudahkah Merdeka?

17 Agustus 2016   22:17 Diperbarui: 23 Oktober 2022   00:12 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah dua tahun Pemerintahan Kabinet Kerja berjalan. KIS dan KIP, sebagian sudah di tangan sebagian penduduk Indonesia; sebagian yang lain belum.

Tidak semua orang tahu prosedur penggunaan KIP. Nah, yang tidak tahu itu menyerahkan KIP ke tempat bersekolah anak-anak masing-masing. Kepala sekolahnya bingung.

“Pak, ini KIP anak saya. Saya minta pencairannya!”

“Lho, sekolah MTs ini tidak mencairkan dana. Yang memberi pencairan dana itu Pemerintah, karena KIP itu program Pemerintah bukan program sekolah. Kami, pihak sekolah, belum ada instruksi prosedur pencairannya.”

“Lho, gimana sih, Bapak?! Kok bisa Bapak ndaktahu?! Bapak kan Kepala Sekolah, masak ndaktahu!”

“Ibu ini, bagaimana, tho?! Masak kepala sekolah ndak tahu ndak boleh?! Wong tahu saja boleh, masak tidak tahu itu tidak boleh?!”


“Waduh, Pokoknya ….”

Salah seorang ibu wali murid itu tetap ngotot, meski kepala sekolah telah berkali-kali mohon permakluman dan waktu untuk menyelesaikan persoalan ini dalam rapat di KKM.

Dalam rapat, Pak Kepala menyampaikan uneg-unegnya.

“Bapak ibu sekalian, saya didatangi wali murid untuk keperluan pencairan dana KIP. Apakah ibu bapak kepala sekolah sekalian juga mengalami hal yang sama? Dan bagaimana penjelasannya?”

“Ya, saya juga mengalami hal yang sama.”

“Sama. Saya juga.”

“Betul, saya juga.”

“Nah, itu bagaimana urusannya?”

“Setahu saya, urusan itu sebenarnya kembali ke desa tempat setiap keluarga mendapatkan KIP. Mustinya, perangkat desa menjelaskan bahwa yang memberi pencairan itu Pemerintah bukan sekolah.”

“Nah, itu dia!”

“Prosedurnya ialah: setiap anak yang mendapat KIP menyerahkan kartu itu ke sekolah tempatnya belajar. Pihak sekolah menyerahkan kartu itu ke lembaga negara tempat ia bernaung. Jika MTs, maka kartu diserahkan ke KEMENAG; jika SMP, diserahkan ke DIKNAS.

Nah, setelah penyerahan itu, masing-masing dari DIKNAS dan KEMENAG mengeluarkan nomor virtual. Nomor ini diberikan ke sekolah. Oleh sekolah, diserahkan kepada wali murid masing-masing.

Lalu, dengan nomor virtual inilah, wali murid yang bersangkutan akan mendapatkan pencairan.”

“Di mana tempat pencarian itu?”

“Ya, tergantung keterangan yang tertera dalam nomor virtual itu. jika di kantor pos, maka yang di situlah. Jika di BNI, BRI, JATIM, atau yang lain, ya di situlah pencairannya.”

“Perkaranya, Pak, kemarin saya lihat sendiri para wali murid SMP yang anaknya mendapatkan KIP sedang mengambil pencairan dana di bank; ada juga yang di kantor pos.”

“Waduh, ini bisa jadi petaka, ini!”

“Lha itu dia, Pak. Imej lembaga-lembaga di bawah KEMENAG bisa hancur ini. Wali murid bisa saja, tho, punya prasangka buruk. Bahkan, bisa menjelek-jelekkan madrasah dan KEMENAG.”

“Oke. Tapi, bukan itu yang saya perkarakan. Iya, urusan itu saya setuju. Tapi yang saya maksud adalah: sekarang ini kita—sebagai kepala madrasah ini—musti bagaimana, supaya KIP siswa di lembaga kita cepat dapat nomor virtual dan segera dicairkan?

Soal, wali murid ini, lho, kalau ndak ada info pencairan, ini lalu menyalahkan sekolah. Ini jelas tidak sehat untuk masa depan madrasah.”

Ah, persoalan purba! Saya tidak tahu, akan berlabuh di manakah pembicaraan itu? Saya mengenali persoalan di atas sudah sejak lama. Hanya gambarnya berbeda.

Dahulu, anak lulusan MI, MTs, MA, lalu STAI atau IAI, sulit jadi PNS. Tapi jika lulusan SD, SMP, SMA, lalu STA atau Universitas, itu gampang jadi PNS, atau—setidaknya—lebih mudah, lah.

Memang sulit bagi seseorang yang punya kepala dua: mau mengikuti perintah otak yang mana. Kanan atau kiri. Budak dengan dua tuan pun sulit: begitu ikut yang satu, yang lain melarangnya.

Ada dua tuhan, juga sulit. Yang satu ingin menghancurkan, yang lain berkehendak membangun. Solusinya hanya satu: tauhid. Penyatuan.

Musti ada pentauhidan sistem pendidikan RI.

Artinya, biarlah pendidikan menjadi urusan DIKNAS, tapi DIKNAS harus mengakomodir seluruh jenis pendidikan, formal atau non-formal (bisa juga, pesantren dan non-pesantren), bahkan informal.

DIKNAS dilarang mendekte pendidikan informal dan non-formal (termasuk pesantren). Juga dilarang ada diskriminasi ijazah (misalnya: ijazah formal laku, non-formal tidak laku).

Silahkan Anda tambahkan syarat yang lain! Tapi yang jelas, jangan sampai ada dua kepala. Jangan ada lagi dua suami! Biar anak bangsa kita jelas keturunan siapa!

Ah, madrasah! Sudah merdekakah kamu?!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun