Mohon tunggu...
Bambang Subianto
Bambang Subianto Mohon Tunggu...

Alumni Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen (hobby menulis feature dan essay) kini menjadi Perencana dan evaluasi program di Dinas Perhubungan Kabupaten Kediri

Selanjutnya

Tutup

Money

Podange: Bangkit dari Keterbatasan

27 Desember 2011   09:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:42 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan tanpa kendala. Mulai awal pendirian tahun 2006 KWT mengalami pasang surut. Uji coba untuk menghasilkan produk yang pas rasa dan kualitasnya, berulang-ulang kali gagal. Rugi jutaan rupiah juga pernah dialami, pernah seorang distributor yang dipercaya, mengambil sari mangga dalam jumlah besar, tapi tidak kembali. Jutaan rupiah lenyap. KWT menganggap itu sebagai ujian dan pembelajaran untuk hati-hati dalam memilih mitra bisnis.

Kendala SDM. Ibu-ibu anggota KWT rata-rata lulusan SD, bahkan Bu Luluk mengaku tidak lulus dari SDN Tiron Banyakan. Hal ini berpengaruh kepada manajemen administrasi dan pencatatan keuangan yang masih ala kadarnya. Namun, seiring makin berpengalamannya KWT dan ada pendampingan dari kalangan akademisi, hal ini bisa diatasi.

Kendala yang belum bisa diatasi adalah akses tranportasi dan komunikasi. “Kalau ditanya apa yang paling saya cita-citakan, ya itu mas, tolong jalan diaspal. Tahun 2011 ini pernah ada kunjungan rombongan dari pesantren Gontor, satu Bus pariwisata, nyatanya busnya bisa masuk kesini walau dengan susah payah. Alhamdulillah mas, ludes semua dagangan di sini. Tapi banyak juga rombongan lain yang memilih kembali. Menyerah dengan kondisi jalan yang rusak” ujar Bu Luluk mengkisahkan.

Kondisi jalan tersebut juga menyulitkan bagi petani yang mengangkut hasil panen ke daerah lain. Makanya, dari pada menunggu pembangunan jalan yang belum pasti, masyarakat lebih memilih memodifikasi sepeda motor, jadi motor semi balap, untuk menundukkan jalan yang berbatu.

Masalah sinyal HP juga menjadi kendala yang serius. Walaupun rata-rata warga yang punya HP sudah memasang antenna sinyal. Namun tetap saja sinyal sulit didapat. Bahkan lokasi rumah bu Luluk yang bersebelahan dengan tempat produksi sama sekali tidak mendapatkan sinyal. ”Saya sering dimarah-marahi mas gara-gara ini, orang luar sering nyalahkan saya, katanya HP saya tidak pernah diaktifkan, padahal aktif terus. Kadang saya harus naik ke tempat yang lebih tinggi kalau ingin berhubungan dengan pihak luar. Makanya dikartu nama kelompok saya cantumkan juga nomor HP sekretaris KWT, Bu Sumini. Soalnya rumahnya berada di ujung desa yang letaknya agak tinggi, sinyal lumayan disana” terang Bu Luluk. “Gak tahu kenapa mas kok belum ada operator yang berani membangun tower di sini, padahal walau pun pinggiran, desa ini kan menjadi incaran orang asing lho?” seloroh bu Luluk.

Sampai sekarang sinyal masih menjadi barang mahal di desa ini. Padahal akses komunikasi adalah alat pemasaran yang paling utama dan sangat dibutuhkan untuk lebih mengenalkan produk olahan mangga podang. Terlebih sekarang era internet marketing. Promosi produk akan semakin cepat lewat media internet. Bisa lintas Negara bahkan. Namun hal ini belum begitu disadari ibu-ibu KWT. Pemasaran masih berjalan secara tradisional karena memang fasilitas internet tidak mendukung di desa Sumber Bendo ini.

Berbagai kendala yang dihadapi, toh tidak menyurutkan semangat ibu-ibu untuk tetap berproduksi. Mereka menyadari potensi mangga podang yang melimpah di setiap musim panen akan mubadzir bila tidak kreatif diolah untuk memberikan nilai tambah ekonomi. Masih ada setitik harapan yang mereka yakini bahwa mangga podang ini adalah anugerah dari Tuhan yang bisa menghidupi warga di sana.

Ada keyakinan dalam benak mereka, desa Sumber bendo bisa maju dan setara dengan desa-desa lain yang lebih mudah terjangkau. Mereka juga tidak ingin sebagian pemuda memilih keluar kampung hanya untuk bekerja ke orang lain. Bahkan sebaliknya, bila produk olahan mangga podang semakin besar, disamping melibatkan pemuda setempat untuk memajukan produksi, mereka juga ingin menarik pemuda dari luar desa yang ingin belajar berusaha.

Mereka sangat terbuka. Kompak untuk maju bersama dibawah satu bendera kelompok. Tidak ada dominasi perseorangan yang ingin memperkaya diri sendiri. Semangat seperti inilah yang diharapkan bisa mengurai masalah perkotaan yang padat penduduk. Urbanisasi masyarakat desa ke kota selama ini lebih disebabkan karena minimnya lapangan pekerjaan di desa, sehingga masyarakat desa menganggap kota adalah ladang yang tepat untuk bekerja. Namun, dengan bekal pendidikan yang rendah dan keterampilan yang minim, kaum urban hanya menjadi pekerja kasar atau bahkan menambah jumlah kaum marjinal di kota. Akhirnya malah menjadi masalah sosial baru di kota. Nampaknya hampir semua kota besar mengalami hal ini.

Pak Jemu : ‘Duta Besar Pertanian’ Kabupaten Kediri

Pak Jemu, tinggal di Dusun Kaligayam yang hanya berjarak 3 km dari rumah Bu Luluk. Akses jalan relatif lebih mudah bila dibandingkan dengan Dusun Sumber Bendo. Yang menarik, gang kecil menuju rumah Pak Jemu diberi nama gang mangga. Barangkali karena begitu banyak dan seringnya mangga yang keluar masuk dari gang ini, saya pun lupa menanyakan ke warga mengapa diberi nama gang mangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun