Mohon tunggu...
Genoveva Tersiandini
Genoveva Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - penggemar wisata dan kuliner

Pensiunan pengajar di sebuah sekolah internasional.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sa Pa ... Aku Kembali

26 Maret 2024   17:58 Diperbarui: 26 Maret 2024   18:16 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sa Pa adalah sebuah wilayah pegunungan yang terletak di Utara Vietnam dan berbatasan dengan China. Kota ini terletak di ketinggian sekitar 1600 mdpl, jadi wilayah ini memiliki udara yang sejuk di musim panas dan lumayan dingin di musim semi, gugur dan tentu saja musim dingin (bahkan bersalju).

Tahun 2013 saya pernah mengunjungi Sa Pa bersama kakak dan keponakan saya. Tempat itu sangat membekas dan keinginan untuk kembali berkunjung ke sana selalu muncul. Sebelas tahun kemudian kesempatan itu baru terwujud. Perjalanan ke Vietnam kali ini dapat dikatakan sebagai perjalanan dadakan, karena saya baru memutuskan untuk pergi dua minggu sebelum keberangkatan. Saya pun hanya mengikuti itinerary teman saya, walaupun beberapa tempat pernah saya kunjungi sebelumnya tapi tidak masalah jika saya mengunjunginya lagi.

Setelah menginap semalam di Hanoi (dengan drama koper  yang tidak terbawa oleh airline dari Jakarta), pada malam harinya kami berangkat ke Sa Pa dengan menggunakan 'sleeper bus' yang tiketnya kami beli di Klook. Menurut keterangan yang saya dapat, perjalanan ini akan memakan waktu sekitar lima  sampai enam jam. Kami diminta untuk berkumpul di Cafe La Mensa dan 15 menit sebelum keberangkatan bus yang akan kami tumpangi pun datang. Satu persatu kami naik ke dalam bus. Saat naik, sepatu harus kami lepas dan dimasukkan ke dalam tas plastik yang kemudian kami bawa ke kursi tidur kami. Di situ sudah disediakan selimut dan juga sebotol air minum. Selama perjalanan bus berhenti dua kali untuk 'toilet break'.

Bus ini lumayan nyaman tapi mungkin karena kami membeli tiket yang cukup murah jadi saya merasa kurang sreg dengan bus ini. Sebenarnya ketika bus bergerak, tidak terasa guncangan yang signifikan, namun saat bus berhenti lampu di dalam bus yang terang langsung dinyalakan oleh supir. Ini agak mengganggu sebenarnya karena lampu tersebut lumayan terang dan jika tidur kita belum nyenyak pasti akan terbangun. Selain itu kaki saya tidak bisa selonjor sepenuhnya. Ketika iseng-iseng melihat-lihat sleeper bus yang lain, ternyata ada bus yang kelihatannya lebih nyaman tapi tentu saja harganya lebih mahal. Tapi ya sudahlah ...jika kembali ke sana, saya pastikan untuk memilih 'sleeper bus' yang lebih nyaman tentunya.

Kami tiba di Sa Pa sekitar jam 5 pagi. Udara pagi itu lumayan dingin, tapi saya masih bisa tahan tanpa mengenakan jacket. Seperti malam sebelumnya kami mengandalkan google map untuk mencari hotel kami. Kami berjalan terus di jalan Dien Bien Phu yang menanjak. Sebenarnya saya agak ragu dengan jalan yang kami ambil karena saya ingat bahwa jalan fansipan itu di kanan kirinya terdapat deretan bangunan padat dan jalannya relatif sempit, sementara jalan yang kami lalui lebih merupakan jalan besar atau utama. Saya sempat menyarankan untuk mengikuti dua orang turis yang berjalan di depan kami yang mengambil jalan menurun, tapi teman saya bersikukuh untuk mengikuti google map. Saat itu kami melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan sebuah restoran yang masih tutup. Melihat kami menyeret koper, dia bertanya ke mana tujuan kami. Ketika saya beritahu nama hotel kami, dia mengatakan di sini tidak ada hotel itu, kalian harus ke bawah.  Akhirnya google map mengarahkan kami untuk berbelok ke kiri dan kami harus menuruni anak tangga yang lumayan banyak jumlahnya. Akhirnya kami sampai di jalan dimana terdapat deretan rumah makan dan juga hotel. Tetap mengikuti google map (walaupun dibawa berputar-putar), akhirnya kami menemukan hotel tempat kami akan menginap.

Hotel kami masih dalam keadaan gelap, tapi kami bisa masuk ke dalam karena pintu depan tidak dikunci. Saya pun mencari-cari apakah ada orang atau tidak. Akhirnya saya menemukan seorang perempuan yang merupakan pegawai restoran hotel. Dia kemudian menyalakan lampu dan memanggil petugas resepsionis. Iseng-iseng saya bertanya apakah sudah bisa check in dan rupanya kamar saya belum tersedia. Saya pun minta izin untuk mandi di toilet yang ada di dekat resepsionis dan diizinkan. Kami bertiga langsung mandi dan kemudian membeli sarapan di hotel tersebut karena kami harus mengejar waktu untuk naik ke gunung Fansipan. Pilihan makananya lumayan bervariasi dan cukup enak. Untuk harga 70,000 Viet Dong lumayan lah.

Setelah makan kami menitipkan barang kami dan kemudian berangkat ke Sun Plaza station untuk naik ke gunung Fansipan.  Ketika kami berjalan menuju stasiun ternyata jalannya mudah sekali, dan ternyata hotel kami dekat sekali dengan Sun Plaza. Padahal pagi tadi ketika kami mencari hotel kami, kami sudah berada di depan Sun Plaza, tapi jalan yang harus kami lalui berputar-putar ... 'thanks to google map' 😀.  Sampai di stasiun kami langsung menuju ke platform kereta yang akan membawa kami ke Hoang Lien Station. Stasiun yang dibangun dengan gaya Eropa ini cukup menarik dan di beberapa bagian terdapat jejeran lukisan yang dipajang. Dari situ kami kemudian harus berjalan untuk naik cable car yang akan membawa kami ke  gunung Fansipan. Kami tidak perlu mengantri karena kami sudah membeli tiket sebelumnya. Jadi kami hanya perlu menunjukkan QR Code di hp kami. Hari itu pengunjung cukup banyak. Ternyata pengunjung lokal dari Vietnam juga lumayan banyak. Sepertinya Sa Pa menjadi tempat berkunjung yang sedang 'trend' bagi turis lokal juga. 

Udara pagi itu cukup dingin dan kabutnya makin lama makin tebal. Kami tidak bisa dengan jelas melihat pemandangan yang ada di kiri kanan kami. Kereta berhenti di stasiun Hoang Lien, kami turun dan kemudian berjalan menuju stasiun cable car yang jaraknya tidak jauh. Karena masih di dalam gedung, suhu udaranya tidak begitu dingin. Kami pun harus menunggu giliran untuk menaiki cable car. Jika cuaca terang pasti pemandangan dari atas cable car sangat indah. Hari itu kabut enggan untuk pergi sehingga kami hanya bisa melihat pemandangan di bawah kami samar-samar saja. Ada saat dimana kabut menipis dan kami bisa melihat pemandangan dengan lumayan jelas, tapi sepanjang perjalanan cable car yang memakan waktu 25-30 menit menuju ke puncak gunung Fansipan, hanya kabut tebal yang dapat kami lihat. Namun demikian, harapan akan adanya secercah cahaya matahari tetap ada.

Kereta untuk menuju cable car station (foto: dokpri)
Kereta untuk menuju cable car station (foto: dokpri)

Cable car untuk menuju Fansipan Station
Cable car untuk menuju Fansipan Station

Pemandangan dari Cable Car (foto: dokpri)
Pemandangan dari Cable Car (foto: dokpri)

Kabut (foto: dokpri)
Kabut (foto: dokpri)

Akhirnya kami tiba di Fansipan Station. Ketika keluar dari stasiun udara dingin mulai terasa... brrrrr. Jacket pun saya keluarkan dari tas dan saya kenakan. Kabut semakin tebal, kami hampir tidak bisa melihat dalam jarak satu meter. Kami pun mulai menaiki tangga dan di cuaca yang berkabut dan ketinggian seperti itu lumayan berat dan oksigen pun tentunya agak menipis. Kami pun tiba di sebuah 'temple'. Walaupun berkabut kami tidak lupa foto-foto. Pengunjung memiliki dua pilihan untuk mencapai puncak Fansipan yang tingginya sekitar 3143 meter, yaitu menapaki 600 anak tangga atau naik fanicular train. Mengingat tiket yang sudah kami beli mencakup fanicular train (tapi hanya satu jalan saja), maka kami pun menuju puncak dengan menggunakan kereta tersebut. Wah ... sensasi menaiki kereta tersebut memang lain karena kereta harus mendaki dan cukup tinggi pula. Tapi sayangnya pemandangan kami tertutup kabut jadi hanya rel kereta dan kabut tebal yang dapat kami lihat. Perjalanan tersebut terasa sangat cepat. Setelah turun dari kereta kami mulai menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai puncak Fansipan. Ada beberapa monumen  yang terdapat di puncak gunung. Tempat itu penuh dengan pengunjung yang sibuk foto-foto. Saya pun menyelinap ke tempat yang lebih tinggi dan menemukan sebuah tempat yang tidak banyak didatangi pengunjung. Di situ saya bebas mengambil foto tanpa halangan. Saya pun memanggil teman-teman saya untuk ke tempat itu dan kami pun mulai sibuk berfoto-foto.

Puncak Fansipan (foto: dokrpi)
Puncak Fansipan (foto: dokrpi)

Foto bersama Monk (foto: dokpri)
Foto bersama Monk (foto: dokpri)

Setelah puas kami pun melanjutkan perjalanan. Kami ingin melihat patung Buddha yang besar. Kami mengikuti 'sign post' yang ada dan 'alamak' kami harus menuruni beratus anak tangga. Dengkul ini mulai terasa tidak nyaman. Untungnya udara di atas gunung dingin jadi tidak gerah dan tidak berkeringat walaupun harus berjalan jauh. Perlahan-lahan dan dengan hati-hati kami tapaki anak tangga yang basah dan licin satu per satu. Kabut tebal masih menyelimuti kami. Akhirnya sampai juga di patung Buddha. Patung itu tak nampak karena tertutup kabut. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju stasiun cable car untuk kembali ke kota Sa Pa. Ketika turun, penumpang cable car tidak sebanyak ketika kami naik. Saat tiba di stasiun cable car kami sempat bingung mencari stasiun kereta yang akan membawa kami turun ke Sun Plaza. Rupanya kami harus keluar dulu dari gedung dan melewati taman yang ditata sedemikian rupa untuk menarik wisatawan dan sangat instagramable. Di situ ada beberapa kuda yang dapat disewa para pengunjung. Bunga-bunga yang ditanam di area tersebut juga berwarna warni. 

Tangga yang harus kami turuni (foto: dokpri)
Tangga yang harus kami turuni (foto: dokpri)

Kabut di pelataran menuju patung Buddha (foto: dokpri)
Kabut di pelataran menuju patung Buddha (foto: dokpri)

Patung Buddha yang tertutup kabut (foto: dokpri)
Patung Buddha yang tertutup kabut (foto: dokpri)

Setelah melewati taman tersebut akhirnya kami menemukan stasiun kereta yang akan membawa kami turun. Kami harus menunggu beberapa saat karena kereta dari bawah belum ada. Ketika kereta tiba dan penumpang dari bawah sudah turun semua, kami pun naik ke kereta yang tidak sepadat saat kami naik. Tiba di Sun Plaza rupanya jalan keluar diarahkan melewati toko cenderamata. Ini merupakan teknik pemasaran mereka agar pengunjung mampir dan membeli oleh-oleh di tempat itu. Di sana ada makanan kecil, kopi, kaos, kerajinan tradisional Sa Pa dan banyak lagi. Harus diakui mereka memang hebat dalam mengemas produk bagi wisatawan. 

Bunga-buna di depan stasiun kereta (foto: dokpri)
Bunga-buna di depan stasiun kereta (foto: dokpri)

Stasiun kereta bergaya Eropa (foto: dokpri)
Stasiun kereta bergaya Eropa (foto: dokpri)

Sapa Station (foto: dokpri)
Sapa Station (foto: dokpri)

Sebelum kembali ke hotel, kami sempatkan untuk makan siang. Kami memesan makanan cukup banyak dan herannya habis semua. Kombinasi antara lelah dan lapar menyebabkan kami menghabiskan makanan yang kami pesan hingga ludes. Setelah makan siang kami kembali ke hotel untuk check in dan beristirahat. Praktis kami kurang tidur sejak malam sebelumnya. Jadi sore itu akan kami gunakan untuk beristirahat barang sejenak sebelum keluar lagi untuk makan malam. 

Jejeran pertokoan dan restoran (foto: dokpri)
Jejeran pertokoan dan restoran (foto: dokpri)

Kamar yang dipesan teman saya cukup bagus dengan pemandangan gunung. Bangunannya sepertinya masih relatif baru. Sementara saya memesan kamar standard karena ketika mereka memesan kamar saya berlum memutuskan untuk ikut ke Vietnam. Kamar saya ternyata tidak memiliki jendela, tetapi terdapat sebuah pintu yang dapat membawa kita ke teras bersama di atas. Terasnya tidak bagus tapi kita bisa menikmati pemandangan yang tidak kalah indahnya dari kamar yang memiliki 'mountain view'. Bagi saya tidak masalah karena saya hanya akan tinggal di situ satu malam saja. Sore itu saya sempat tertidur dan udara di dalam kamar terasa semakin dingin. Ketika saya membuka pintu, rupanya kabut tidak mau meninggalkan Sa Pa, bahkan semakin tebal pantas udaranya semakin dingin. Saya kembali lagi ke tempat tidur karena tempat tidur di hotel tersebut memiliki pemanas, jadi nyaman rasanya dan malas rasanya untuk keluar lagi. Namun, perut ini sudah keroncongan minta untuk diisi.

Pemandangan dari teras hotel (foto: dokpri)
Pemandangan dari teras hotel (foto: dokpri)

Malam itu kami sempatkan untuk berjalan-jalan sedikit di kota Sa Pa sebelum makan malam. Kami pergi ke Sa Pa square dan di situ kami melihat beberapa anak kecil dari suku asli Sa Pa yang menari-nari untuk mendapatkan uang. Jika tahun 2013 para perempuan suku asli yang bekerja menjajakan hasil kerajinan tradisional dengan menggendong anak-anak mereka, tahun ini anak-anak mereka bahkan ikut dipekerjakan untuk mendapatkan uang. Jadi jika ibu mereka tidak berhasil menjual sesuatu, paling tidak ada yang akan memberi uang kepada anak-anak mereka saat pengunjung melihat anak-anak tersebut menari-nari diiringi musik modern. Di dekat Sa Pa Square juga terdapat gereja Sa Pa Stone Church. Ketika itu pintu gereja terbuka dan kami pun masuk. Rupanya hari itu sedang ada misa di gereja, padahal hari itu hari Selasa. Kami kemudian keluar lagi karena tidak ingin mengganggu peribadatan mereka. Dari Sa Pa square kami kembali ke restoran tempat kami makan siang karena restoran Hmong yang ingin kami coba ternyata sangat penuh dan  sudah tidak tersedia tempat duduk lagi.

Sapa di waktu malam (foto: dokpri)
Sapa di waktu malam (foto: dokpri)

Suasana tenang di malam hari (foto: dokpri)
Suasana tenang di malam hari (foto: dokpri)

Sapa Stone Church (foto: dokpri)
Sapa Stone Church (foto: dokpri)

Selesai makan kami berjalan kembali ke hotel di bawah rintik hujan. Kami kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat karena keesokan harinya kami akan mengunjungi Cat Cat Village pada pagi hari dan kembali ke Hanoi pada malam harinya.

gmt/26/03/2024

sumber foto: dok pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun