Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia Ulat Bulu (05)

27 Juni 2011   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ayah menatap Ibu bingung. “Ingat apa?”

“Ng, anu… semalam… semalam… Eh, kondisi ayah sudah baikan?”

“Segar bugar. Ayah gak pernah merasa sebaik ini!” Senyum Ayah mengembang.

“Oh, syukurlah! Kalau begitu Ibu buat sarapan dulu ya.”

Bergegas Ibu menuju dapur. Ia tak mengerti apa yang telah terjadi semalam. Tapi hatinya kini berseri. Ia masih tak mengerti, sungguh tak habis pikir, betapa perangai Ayah semalam telah membuatnya dan juga tabib desa ketakutan setengah mati.

Lalu bagaimana dengan mata itu—sepasang mata hitam itu yang mengerikan itu? Ah, ia dan tabib desa pasti berhalusinasi saja semalam! Tetapi mungkinkah dua orang bisa berhalusinasi di saat yang bersamaan sekaligus? Atau mungkin… ya!—bisa jadi itu karena efek cahaya lampu kuning 15 watt di kamarnya yang mulai meredup. Ibu tidak bisa menemukan penjelasan yang lebih baik lagi. Tapi ia girang, seulas garis lengkung di sudut bibirnya manakala ia menyiapkan sarapan menyiratkan segalanya; harapannya semua akan kembali seperti semula dan hidup mereka berjalan normal tertuang dalam rasa sup buatannya yang melimpah dan menggoda selera.

Tapi sebagaimana telepon yang ditujukan padaku semalam, yang memintaku untuk segera pulang dan melihat kondisi penyakit aneh yang menimpa Ayahku, Ibu mengatakan dengan penuh isak kalau ini hanyalah permulaan dari teror sebenarnya yang menimpa keluarga kami.

Dan saat ini aku tengah dalam perjalanan pulang menuju kampung halamanku. Di dalam bus aku terus memikirkan kejadian di atas dengan sejuta cemas. Hatiku bergumul kalut.

Melanjutkan ceritaku di atas, kata Ibu, pagi itu Ayah sarapan dengan sangat lahap. Terutama ia menyukai sup buatan Ibu, berulang kali ia menyendok sayuran dan daun kol yang ada di dalamnya. “Kol ini enak sekali! Manis dan gurih,” berulang kali Ayah memuji masakan Ibu. Tapi mendadak ia terlonjak kaget manakala menemukan sebentuk kepala ayam berikut sayapnya di balik potongan sayuran lainnya. Ayah bergidik ngeri melihatnya.

Tak biasanya, pikir Ibu, padahal Ayah sangat menyukai kepala ayam. Itu adalah salah satu lauk favoritnya. Ibu menyendok kepala ayam tersebut dan melihat tidak ada yang aneh. Lalu disodorkannya kepala ayam itu pada Ayah, tapi Ayah malah terlonjak jatuh dari kursinya saking terkejutnya. Reaksi yang ditunjukkan Ayah saat itu bukanlah sekedar merasa geli, atau jijik, melain jelas sekali ia tampak sangat ketakutan.

Dan bukan hanya sekali itu saja. Setelah kejadian hari itu, Ayah juga akan berlaku histeris dan bagai orang yang kehilangan kendali saat mendengar suara kicau burung tetangga, atau mendengar suara kokok ayam jago di pagi hari, atau melihat sekumpulan anak ayam bermain di pekarangan rumah. Bahkan hanya sekedar melihat gambar burung dan sejenisnya di TV, Ayah akan mengkerut ketakutan. Ini bukanlah fobia, karena sebelumnya Ayah tak pernah berlaku seperti ini. Sebaliknya, ini lebih mirip seperti Ayah bertemu sosok musuh alami yang akan menghabisi nyawanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun