Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia Ulat Bulu (01)

13 Juni 2011   04:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:34 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku adalah seorang mahasiswa semester empat di sebuah universitas negeri di ibukota provinsi. Saat ini aku sedang dalam perjalanan pulang mendadak menuju kampung halamanku di desa untuk melihat keadaan Ayahku yang terserang penyakit aneh, setidaknya begitulah kata Ibuku dalam percakapan telepon terakhir kami semalam yang membuatku cemas. Berbagai pikiran menghantuiku lama setelahnya dan aku tak bisa tertidur karenanya. Aku ingat bagaimana suara Ibu bergetar, dan aku bisa membayangkan keringat dingin yang membasahi tangannya menggenggam ponsel saat menceritakan kondisi Ayah. Ah, seandainya aku berada di hadapannya ingin aku memeluknya dan memikul beban deritanya. Menurut Ibu, Ayah telah berubah. Ia sama sekali bukan lagi seperti pria yang dikenalnya dulu. Apa yang sebenarnya terjadi, aku juga masih remang-remang dan semuanya seolah tertutup oleh tabir misteri. Kata Ibu, suatu pagi, selepas hujan deras yang mengguyur semalaman, saat pertama kali wabah ulat bulu meyerang desaku Ayah langsung mengambil inisiatif untuk membantai habis-habisan makhluk pengerat dedaunan tumbuhan itu. Ayahku memiliki kebun karet yang tak seberapa luas warisan dari ayahnya, kakekku. Pada kebun itulah kami sekeluarga menggantungkan hidup. Sama seperti kebun para tetangga lainnya, pohon-pohon karet di kebun kami kini dipenuhi hama ulat bulu yang menjijikkan dan membuatku bergidik setiap kali melihatnya ketika aku kecil dulu. Pagi itu, lanjut Ibu, seorang tetangga sebelah rumah kami tidak jadi menyadap lahan karetnya karena seluruh tangannya bentol-bentol dan ia merasakan gatal luar biasa merajam tubuhnya akibat terkena racun ulat bulu. Akhirnya ia memilih duduk tercenung di serambi rumah, sesekali meringis, sembari membalsami bagian tubuhnya yang bentol-bentol. Ayah mendengarkan cerita rekannya dengan seksama. Katanya, sewaktu hendak menoreh getah karet di pagi buta saat sinar matahari masih samar, tahu-tahu saja sekelompok ulat bulu telah memenuhi seluruh batang karetnya entah dari mana datangnya, dan segera kedua tangannya yang tak beralas apapun terkena miang duri mereka. Tak lama, menyadari hari itu ia tak akan dapat bekerja sebagaimana biasanya karena gangguan hama ulat bulu itu, ia pun tergopoh-gopoh pulang seraya menahan perih dan gatal yang menjalar ke seluruh lengannya. Ayah menjadi geram dan dipenuhi kekesalan atas hama pengganggu itu. Mereka cepat sekali menyebar, sudah dua desa yang menjadi korban serangan mereka dalam seminggu ini. Ayah tahu persis kebunnya berbatasan dengan kebun tetangga kami itu, dan ia khawatir wabah ulat bulu juga pasti telah bermukim di kebunnya. Tapi Ayah bukanlah orang yang gampang menyerah. Ia tak bisa duduk-duduk santai di muka rumah begitu saja sambil menyesap secangkir kopi, sementara ulat-ulat bulu jahanam itu merajai kebunnya. Ia tak bisa hanya bersabar dan tak melakukan apa-apa menunggu bantuan penanggulangan dari pemerintah, sementara hama menjijikkan itu menghalangi pekerjaannya. Ia telah selesai mengenakan sepatu botnya dan siap menyadap karetnya tadi, sejak setengah jam lalu ketika mendengar tetangganya berlari pulang sambil mengerang. Kedua tangannya yang berbulu dan hitam tampak merah bekas digaruki dengan cepat dan kasar. Ayah tak terlalu terkejut dan mengumpat dalam hati. Tahulah ia ulah siapa sebenarnya itu, belum lama ini desa tetangga juga telah diserang oleh wabah ulat bulu dan sekarang giliran desa kami. Tapi ia harus menyadap karetnya, batin Ayah resah, karena itulah satu-satunya mata pencariannya dan dari situlah dapur keluarga kami dapat terus mengebul. Lagipula, ia butuh banyak uang untuk membayar iuran semesterku bulan depan. Ah, tiba-tiba ia berhasil memikirkan sebuah ide! Segera saja ia mengambil sebatang bambu yang menjadi gantungan jemuran Ibu di samping rumah, memotongnya sepanjang dua ruas, kemudian menyumpal salah satu ujungnya dengan sehelai kain bekas yang telah dilumuri minyak tanah. Nah, obor di tangannya kini telah jadi. Ia berniat membakar satu-persatu ulat-ulat yang berani macam-macam dengannya dan menginvasi kebunnya supaya ia bisa tetap menyadap karetnya. Dengan penuh percaya diri Ayah lantas pergi ke kebun miliknya yang berada tak jauh di belakang rumah kami, melewati jalan setapak yang menurun serta licin dan liat selepas hujan. Sesampainya di sana ia kaget bukan kepalang menyaksikan ratusan—tidak, ia berulang kali mengerjap dan tak salah lihat, jumlahnya ribuan malah—makhluk coklat sebesar kelingking bocah itu memenuhi setiap jengkal batang karetnya. Di bawah semburat sinar matahari pagi yang menerobos celah-celah dedaunan basah mereka tampak tengah mengadakan rapat besar di setiap batang untuk membagi-bagi wilayah koloni masing-masing. Kurang ajar! Darah Ayah yang berperangai pemberang langsung mendidih dibuatnya. Seketika ia menyulut obor di tangannya dengan korek api dan mulai menyodorkan cahaya panas itu ke tubuh gendut para serdadu ulat bulu beserta kroninya. Dengan sangar lidah api itu menari-nari menghanguskan bulu-bulu penyebab gatal si ulat dan membakar hangus dagingnya. Ulat-ulat bulu itu meronta, menggelinjang, lemas, lalu satu-persatu cengkeramannya mulai lepas dari batang karet dan jatuh ke tanah. Mati. Ayah tersenyum senang menyaksikan hal itu. Seperti pemain sirkus ia menggerakkan obornya kian kemari, berputar-putar dari satu batang ke batang pohon karet lainnya yang dijumpainya. Lidah api itu menari-nari riang, cahayanya melesat bagai sapuan kuas oranye di kanvas udara, menawarkan teror kematian bagi ulat-ulat yang tak mampu kabur itu karena gerakan mereka yang teramat lamban. Hari itu Ayah bagai kesetanan. Ia lupa niat awalnya yang ingin menyadap karet. Sebagai gantinya ia kini menahbiskan dirinya menjadi jagal bagi kawanan ulat bulu itu. Seraya memperlihatkan wajah dingin dan sungging senyum kemenangan di bibirnya, Ayah seolah menikmati pembantaian yang dilakukannya tersebut. Setiap kali melihat sekor ulat tumbang ke tanah ia terkekeh dan menyumpah dalam hati, “Ini untuk lahan-lahan penduduk yang telah kalian rampas. Ini untuk tetanggaku yang telah kalian racuni tubuhnya dengan bulu-bulu gatal kalian. Ini untuk kami, para petani yang marah, yang tertunda pekerjaannya karena keberadaan kalian yang mengganggu. Rasakan! Ini hari pembalasan untuk kalian. Kalian, wabah keparat, pantas menerima ajal kalian di tanganku!” [bersambung...] Manusia Ulat Bulu (02) Manusia Ulat Bulu (03) Manusia Ulat Bulu (04) Manusia Ulat Bulu (05) Manusia Ulat Bulu (06) Manusia Ulat Bulu (07 - Selesai) >>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini. >>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com. Sumber gambar: http://www.borneophotography.org

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun