Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Langit Jingga (04)

21 Juli 2011   04:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:31 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Langit bohong. Aku tak percaya lagi pada laki-laki.

Suatu malam, beberapa hari setelah ‘kencan’ kami, Mama mengamuk hebat. Ia tak mampu lagi membendung amarahnya dan meledak. Ternyata pada saat makan malamnya dengan Papa dua hari yang lalu adalah untuk yang terakhir kalinya bagi mereka. Di akhir dinner mereka yang romantis di sebuah restoran ternama, Papa, dengan wajah dingin yang seakan membunuh semua keceriaan Mama malam itu, menunjukkan selembar surat cerai pada Mama untuk ditandatanganinya. Papa bilang sudah saatnya mengakhiri semua kebohongan ini dan ia ingin mengakhirinya dengan indah. (Cih! Mengakhirinya dengan indah—oh, aku tak bisa membayangkan perasaan Mama saat itu!)

Selama ini, tanpa sepengatahuanku, mereka telah lama tidak akur dan sepakat untuk bercerai setelah aku tamat SMA. Sekarang aku telah kuliah, semester dua, sudah lewat dari waktu yang seharusnya, namun Mama bersikeras menunda perceraiannya dengan Papa sampai aku melewati usia duapuluh dan dianggap telah lebih dewasa untuk menerima semua ini. Terlebih, sebenarnya di dalam hatinya Mama masih sangat mencintai Papa dan berharap dengan bertahan suatu hari nanti Papa akan berubah dan kembali padanya. Namun harapannya itu jauh panggang dari api. Semu. Picik. Naif. Dan brutal. Ya, brutal karena Mama menumpuk harapannya itu menjadi amarah yang merusak dirinya sendiri… dan juga keceriaanku.

Malam itu, Papa mengaku telah menikah lagi di luar sana. Diam-diam. Tanpa sepengetahuan kami. Sementara ini istri mudanya tinggal di luar kota. Mama merobek surat cerai di hadapannya dengan mata merah berkabut dan berlari pulang. Setelahnya Mama mengurung diri selama dua hari di kamarnya. Tak berbicara pada siapapun, tak juga menyentuh makanannya. Dan malam ini Mama tak sanggup lagi menyimpan semuanya. Ia meraung dan melolong bagai serigala yang terluka. Suara teriakan dan berisik piring pecah berbaur di udara, menyesakkan rongga dadaku yang mendengarnya. Aku menutup kedua telingaku erat-erat di sudut kamar dan menangis sepanjang malam.

Langit bohong.

Aku telah menghabiskan sekotak cokelat pemberiannya, tapi aku tak juga merasa bahagia. Menyebalkan!

***

Besoknya, pagi-pagi sekali aku berangkat ke kampus. Sengaja, aku tak ingin Langit mengantarku. Aku tak ingin berada lebih lama lagi di rumah yang tampak bagai kapal pecah diamuk tornado kemarahan Mama semalam. Berjinjit aku keluar kamar. Kursi-kursi dan telapak meja tampak berhamburan. Vas bunga yang pecah meninggalkan sisa air yang menggenang di lantai di antara serpihan beling. Lukisan yang tergantung tak beraturan di dinding tak luput dari amukan Mama. Oh ya, aku tak melihat Mama, mungkin teler di kamarnya. Ya, bisa apalagi dia! Aku tak tahan melihat semua ini. Aku muak dan air mataku meleleh. Aku ingin berlari sejauhnya dari tempat ini.

Sesampainya di kampus aku bersembunyi di atap gedung. Sendirian. Hanya sepi dan suara bisik angin yang berhembus yang menghiburku, aku menangis lagi di sana. Meringkuk dan sesegukan memeluk lutut. Wajahku terbenam pilu dalam-dalam. Sampai berapa lama aku tak tahu, mungkin beberapa jam, hingga aku berpikir mungkin sebaiknya aku tak perlu lagi merasakan sesak yang menyiksa di dalam dadaku karena pertengkaran Mama dan Papa. Aku melihat ke pinggiran atap gedung dan berdiri di sana, menatap ke bawah gedung setinggi lima lantai itu. Sebuah pikiran jahat menggodaku; ia berbisik kalau aku melompat dari atas sini, maka aku tak perlu lagi menderita seperti ini. Ya, aku muak dengan semua pertengkaran mereka. Toh, sudah sejak lama aku tak merasakan lagi kehangatan mereka atau kedamaian di hatiku, hasut pikiranku yang lain. Setiap kali bertemu, bukannya menanyakan keadaanku, mereka hanya punya waktu untuk saling berteriak dan melempar caci maki satu sama lain. Aku tak mau terus hidup seperti ini! Ini sungguh tidak adil!

Aku ingin berlari saja dari semua ini. Aku akan melompat dari sini dan mengakhiri semuanya.

Sementara aku memanjat pagar beton pembatas atap gedung, di bawah kulihat seseorang menunjukku dengan panik, lalu beberapa orang lainnya segera bergabung dengannya dan mendongak ke arahku. Tak lama pelataran depan gedung utama kampusku itu segera dipenuhi bisik-bisik orang-orang yang hendak menyaksikan aksi bunuh diriku dengan perasaan was-was, berdengung bagai suara lebah yang memenuhi udara. Angin yang berhembus kencang di atas atap gedung menerbangkan rambutku.
Tiba-tiba kepalaku terasa berdenyut, perutku mual. Kemudian kejadian selanjutnya berlangsung sangat cepat—aku tak ingat mana yang persis lebih dulu; aku memejamkan mata atau mengangkat sebelah kakiku dari ujung pagar pembatas atap gedung dan melangkah di udara, atau melakukan keduanya bersamaan. Di bawah, orang-orang berwajah kalut berteriak panjang “JANGAAAANN…!!”. Namun apa lacur, tubuhku melayang menabrak gravitasi disertai suara “Brukk!” yang mengerikan dan memekakkan telinga hingga ke dalam hati siapa saja yang mendengarnya. Orang-orang berwajah kalut itu kini berteriak histeris, ada pula yang membekap mulutnya dengan napas tertahan, menyaksikan tubuhku bersimbah darah—darah mengalir deras dari semua bagian tubuhku yang patah. Aku sekarat, sekujur tubuhku tak dapat digerakkan, hanya bola mataku saja yang masih bebas bergerak dengan tatap lamur. Beberapa hembusan nafas lagi aku pasti akan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun