Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Langit Jingga (01)

11 Juli 2011   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:46 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemuda itu—saat pertama kali melihatnya aku merasa seperti sudah pernah melihatnya sebelumnya. Dimana? Entahlah, pokoknya di suatu masa dalam hidupku, wajahnya tak tampak asing di mataku. Ia seorang tukang ojek baru—oh, please jangan langsung skeptis dan mengatakan kalau ceritaku ini tak menarik dulu hanya karena aku meyebutkan profesi tukang ojek sebagai objek ceritaku—di depan lorong komplek perumahanku. Sebenarnya aku kurang sreg juga naik ojeknya, pasalnya ia kurang lincah menyalip kendaraan yang ada di depannya dan terlampau pelan membawa motornya untukku yang sedang memburu waktu. Heran juga, di antara semua tukang ojek langgananku, kelima-limanya, mereka menolak mengantarku ke kampus pagi ini. Tapi, yah, setidaknya aku menghargai mereka, mungkin ini salah satu bentuk solidaritas mereka pada rekan baru mereka yang tengah memboncengku saat ini. Sementara aku mengoceh di dalam pikiranku, kami sekarang telah sampai di tempat tujuan. Ia kemudian berhenti di depan gerbang kampusku. “Nih!” Aku mengembalikan helm-nya dan mengulurkan selembar lima ribuan sebagai ongkosku. Ia menerima helm-nya, tapi tak mengambil uangku. “Kenapa? Kurang ya, Bang?” tebakku dengan mimik tak senang. “Biasanya juga saya bayar segitu sama tukang ojek yang lain. Nih, saya tambahin dua kali lipat!” Ia menggeleng, tersenyum menatapku. “Nama saya Langit,” katanya. “Berikan saja namamu. Itu ongkos yang saya minta.” “Apa?” “Saya bukan tukang ojek kok. Saya sengaja menyamar sebagai tukang ojek supaya saya bisa berkenalan denganmu.” Wow! Kalian dengar itu? Pagi-pagi begini sudah ada yang menggombaliku. Sebelumnya aku bukanlah gadis yang gampang tersanjung, tapi dengannya kali ini, ah, aku merasa berbeda. Aku merasa wajahku sedikit memerah. Maksudku, well—yah, aku rasa aku bisa membuat sedikit pengecualian untuknya. Hanya sedikit kok. “Jingga. Nama saya Jingga,” jawabku sebiasa mungkin, aku tak mau terlihat kikuk di hadapannya. “Nama yang cantik…” “Seperti orangnya? Huh, basi!” Oh my God? Dasar perayu di pagi hari. Menyesal aku memberinya pengecualian tadi. “Jam berapa pulang?” “Eh?” “Saya bisa menjemputmu kalau kamu gak keberatan. Gratis kok,” senyumnya melebar, menampilkan sederet giginya yang rapi. Gila! Dikasih hati, malah minta jantung. Dasar cowok. “Ah, saya terburu-buru! Saya ada kelas pagi ini.” Aku bergegas meninggalkannya yang masih berdiri tersenyum-senyum di atas sepeda motornya. Sesekali dari kejauhan aku meliriknya sekilas. Saat itulah aku merasa kalau aku pernah melihatnya sebelumnya. Entah dimana, aku merasa seperti pernah melihat wajahku di pantulan sorot matanya yang teduh. [bersambung...] Kisah Langit Jingga (02) Kisah Langit Jingga (03) Kisah Langit Jingga (04) Kisah Langit Jingga (05) Kisah Langit Jingga (06) Kisah Langit Jingga (07) Kisah Langit Jingga (08) Kisah Langit Jingga (09) Kisah Langit Jingga (10 - Selesai) >>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini. >>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com. Sumber gambar: http://www.agv.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun