Di tengah lorong pameran seni Fakultas Pendidikan Seni dan Desain Universitas Pendidikan Indonesia, puluhan karya saling berlomba menarik perhatian. Warna-warni mencolok, bentuk eksperimental, hingga permainan media digital terasa mendominasi. Namun di sudut ruangan, dua karya yang nyaris monokrom justru menghentikan langkah banyak pengunjung. Tak ada ledakan warna. Tak ada format besar. Hanya dua lembar kertas dengan coretan pensil yang sangat tenang, tapi terasa menatap balik dengan intensitas yang tak bisa diabaikan.
Dua karya ini berjudul Zen oleh Siti Fatimah Az-Zahra Muthmainnah dan Bulan Suci oleh Aufa Anisa. Keduanya menggunakan media paling dasar dalam seni rupa: pensil di atas kertas. Tapi justru dalam kesederhanaan itulah, kedalaman muncul. Seperti halnya puisi yang pendek namun bermakna luas, dua karya ini menawarkan ruang untuk perenungan, bukan hanya pengamatan visual.
Zen adalah gambar seorang anak perempuan berdiri di atas kursi kayu yang tinggi. Ia mengenakan gaun sederhana dan ekspresinya datar. Di sisi kursi tergantung sebuah boneka lusuh, nyaris tak diperhatikan. Komposisinya sederhana, tapi atmosfer yang dihasilkan sangat kuat. Kursi tempat anak itu berdiri menjadi semacam panggung sunyi. Bukan panggung perayaan, melainkan panggung beban. Anak itu seolah dipajang, dituntut menjadi sesuatu yang belum waktunya. Postur tubuhnya tegak, namun tidak menunjukkan kegembiraan, justru menyiratkan tekanan yang tak kasatmata.
Dalam dunia nyata, banyak anak-anak harus menghadapi tuntutan menjadi ‘dewasa’ terlalu cepat. Mereka diharapkan patuh, tampil baik, bisa mengerti situasi keluarga atau sekolah. Mereka tidak selalu menangis atau marah ketika tertekan, karena dalam banyak kasus, tekanan itu berubah menjadi bentuk ketenangan semu. Azzahra, Victoriana, dan Megarini (2023) menyebut bahwa anak-anak yang mengalami tekanan emosional kerap menunjukkan wajah datar dan sikap tenang sebagai bentuk pelarian dari konflik batin yang tidak tersampaikan secara verbal. Dalam konteks inilah, Zen berbicara bukan hanya tentang seorang anak, tetapi tentang banyak anak yang menyembunyikan luka dengan diam. Karya ini seolah menjadi potret diam dari ribuan suara yang tidak pernah terdengar.
Berbeda dari Zen yang langsung menyodorkan nuansa sosial dan psikologis, karya Bulan Suci justru mengajak penonton masuk lebih pelan ke dalam ruang spiritual. Dalam gambar ini, wajah-wajah perempuan muncul dari latar yang menyerupai tekstur kayu. Mereka tidak tampil sebagai individu yang terpisah, melainkan bagian dari keseluruhan bidang gambar. Tidak ada satu titik pandang yang dominan. Wajah-wajah itu menyebar dan mengalir, seperti ingatan yang tidak bisa dikendalikan, atau seperti suara batin yang kadang muncul begitu saja.
Judul Bulan Suci membuka ruang tafsir yang luas. Bisa merujuk pada Ramadan sebagai waktu sakral yang penuh kontemplasi, bisa juga mengacu pada siklus menstruasi yang dalam banyak budaya tradisional dianggap suci atau tabu secara bersamaan. Ramadhanti dan Sami (2023), menjelaskan bahwa simbol perempuan dalam karya seni kontemporer kerap digunakan untuk membahas isu-isu spiritualitas, peran sosial, hingga pengalaman eksistensial yang bersifat pribadi. Dalam Bulan Suci, wajah-wajah perempuan itu tidak bicara, tidak menatap, tapi kehadiran mereka terasa sangat nyata. Mereka menyatu dengan kayu seperti sejarah yang ditulis tanpa suara.
Dalam berbagai budaya, perempuan sering dikaitkan dengan elemen bumi, siklus alam, dan intuisi batin. Maka gambar ini dapat dimaknai sebagai meditasi visual tentang keberadaan perempuan yang tidak selalu terlihat, tapi selalu hadir dan menopang kehidupan dari balik layar. Bulan Suci terasa tidak hanya sebagai lukisan, tapi sebagai renungan panjang tentang identitas, memori, dan spiritualitas yang bersifat kolektif.
Sujarwo (2020), menyebut bahwa kekuatan seni tidak terletak pada kecanggihan teknologi, tetapi pada nilai dan makna yang ditransfer melalui pengalaman visual. Ia menekankan bahwa media sederhana seperti pensil bisa menjadi ruang pendidikan batin yang sangat dalam. Bahkan dalam ranah terapi seni, pensil merupakan salah satu alat paling efektif karena memungkinkan ekspresi spontan dan reflektif. Dalam seni ekspresif, yang dibutuhkan bukan kemegahan visual, tetapi ketulusan rasa.
Pameran ini bukanlah pameran berskala besar. Tidak ada gemerlap promosi, tidak ada panggung sambutan panjang. Namun justru karena kesederhanaannya, ruang ini menjadi tempat yang intim. Tempat di mana karya seperti Zen dan Bulan Suci bisa benar-benar hidup. Mereka tidak memaksa untuk diperhatikan, tapi mengundang kita untuk mendekat dan merasakan.
Zen mengajak kita melihat sisi lain dari anak-anak yang sering terabaikan. Ia adalah potret tekanan sosial yang mungkin tak kita sadari. Sementara Bulan Suci mengajak kita menengok ke dalam, menyelami kekuatan sunyi perempuan dan refleksi spiritual yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan logika. Keduanya berbicara dengan suara pelan, tetapi dalam diam mereka, tersimpan kekuatan yang sangat besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI