Ada sebuah paradoks sosial yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari, tapi jarang kita sadari dan anggap itu sebagai sebuah keanehan.
Kita bisa bersikap ramah, penuh toleransi, bahkan cenderung lebih mudah memaafkan kesalahan orang asing dengan mudah, sementara terhadap tetangga atau orang terdekat, sikap itu justru lebih sulit kita lakukan.
Sebagai konteks, orang asing di sini maksudnya adalah orang yang baru kita kenal sebentar, baik secara online dari sosial media, maupun yang kita kenal dan bertemu langsung. Bukan orang asing yang datang dari negara lain.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di desa atau kota kecil, tapi juga di kawasan perkotaan modern di mana batas antara privasi dan kehidupan sosial semakin kabur.
Fenomena ini sangat menarik dibedah karena menyentuh akar relasi sosial manusia, yaitu keintiman, jarak, harapan, dan juga ego.
Lalu kenapa kita cenderung lebih mudah menghargai orang asing dibanding tetangganya sendiri? Dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya di tengah masyarakat yang semakin individualistis?
Kedekatan yang Justru Menjadi Beban
Ketika membahas tentang interaksi sosial dengan tetangga, kita bukan hanya bertemu mereka sekali-sekali saja, tentunya. Kita sering kali berpapasan, mendengar aktivitas sehari-hari mereka, bahkan tak jarang kita tahu detail-detail kecil yang seharusnya tidak perlu kita tahu.
Misalnya, kita tahu jam berapa mereka menyapu teras dan halaman rumahnya, gaya bicara mereka, suara dan jam sekolah anak-anaknya, sampai hari apa saja mereka biasanya membuang sampah.
Kedekatan ini menciptakan dua hal sekaligus: rasa akrab dan juga potensi konflik tanpa ujung. Semakin sering kita berinteraksi, semakin tinggi kemungkinan munculnya kekecewaan yang memunculkan perasaan direspect ke depannya. Dan sayangnya, kekecewaan itu jauh lebih sulit dilupakan, karena tingginya intensitas pertemuan dengan mereka.
Sementara itu, orang asing datang silih berganti, hadir tanpa membawa beban masa lalu pada hidup kita. Kita menganggap mereka tidak membawa ingatan buruk juga, dan karena faktor itulah, kita jadi lebih mudah menghargai dan menaruh respek kepada mereka yang baru kita temui.
Ekspektasi Tinggi pada Orang Dekat
Kepada tetangga, kita sering kali memasang ekspektasi yang amat tinggi. Kita berharap mereka menjaga ketertiban sekitar, tidak membuat bising, sopan ketika berbicara, atau ikut terlibat dalam kegiatan bersama di lingkungan sekitar rumah.
Sehingga saat ekspektasi tinggi itu tidak terpenuhi satu saja, rasanya seperti sebuah luka personal bagi kita. Sangat membekas dalam ingatan dan cenderung sulit dilupakan.
Berbeda jika kita membicarakan orang asing, apalagi yang hanya kita temui sekilas, kita berekspektasi aneh-aneh terhadap mereka. Maka saat mereka berbuat baik sedikit saja, rasanya seperti kita mendapatkan sebuah bonus yang tidak terduga. Dibanjiri dengan rasa kagum yang melonjak tiba-tiba, akibatnya sikap menghargai yang muncul pun jauh lebih tulus dan bertahan lebih lama.
Fenomena ini sebenarnya mirip dengan fenomena hubungan antara kita dengan keluarga dan teman. Seringkali kita lebih sabar dan pemaaf terhadap kesalahan teman kita, daripada kesalahan saudara sendiri.
Padahal, bisa jadi skala kesalahannya sama. Tapi karena kita menganggap hubungan dan interaksi keluarga lebih personal, maka rasa sakit hati yang muncul lebih sulit dilupakan dan sikap serta perasaan hormat pada mereka pun turun drastis.
Lingkar Sosial yang Kental dengan Budaya Perbandingan Sosial
Kehidupan sosial modern, terlebih dalam konteks bertetangga, di Indonesia, sangat amat erat dengan budaya membandingkan satu sama lain. Fenomena ini biasa disebut social comparison dalam ilmu psikologi, atau dalam bahasa yang lebih nyeleneh kita biasa mendengar istilah nyinyir.
Masyarakat kita cenderung nyinyirin (membandingkan) banyak hal antara tetangga satu dan lainnya. Kita cenderung membanding-bandingkan siapa yang rumahnya lebih bagus, siapa yang motornya lebih baru, siapa yang mobilnya lebih mahal dan lebih canggih, siapa yang anaknya jauh lebih berprestasi secara akademik.
Bahkan ada yang saya pernah temui, sampai membandingkan siapa yang lebih sering menyumbang dengan nominal besar, saat ada acara di sekitar rumah.
Budaya saling membandingkan ini diam-diam menumbuhkan 'jarak sosial' antar tetangga. Alih-alih merasa setara, kita mulai menempatkan tetangga dalam kuadran-kuadran semu, apakah mereka 'lebih baik' atau 'lebih buruk' daripada kita.
Akibatnya, rasa menghargai yang tulus semakin sulit tumbuh dalam interaksi sehari-hari, karena selalu terhalang oleh perasaan iri atau superioritas hasil nyinyir tadi.
Sedang pada orang asing, kita tidak mengenakan beban perbandingan itu kepada mereka, setidaknya sementara saat bertemu sesekali waktu itu. Kita merasa seolah kita bisa langsung melihat kebaikan mereka tanpa harus merasa terseret 'kompetisi sosial' di dalam hati.
Kita seringkali menganggap kehadiran sesaat orang asing itu bukanlah sebuah 'ancaman' untuk eksistensi yang kita bangun samar-samar tadi, maka kita merasa tidak ada alasan untuk menganggap orang asing ini sebagai orang yang buruk.
Ilusi Kesempurnaan Orang Luar
Seperti yang sudah dijabarkan pada poin-poin sebelumnya, salah satu kelemahan manusia adalah cenderung menilai seseorang hanya dari permukaan yang terlihat saat itu saja.
Orang asing yang datang dengan senyum lebar, tutur kata sopan, dan sikap menghargai dan hangat, langsung kita beri nilai positif mutlak. Padahal kita tidak (atau belum) tahu sisi negatifnya, dan mungkin juga tidak akan pernah tahu karena hati kita sudah terlanjur melabelinya sebagai 'orang yang baik', sampai kemudian 'orang baru' ini akan menjadi 'orang lama' dan akan mengecewakan kita juga pada akhirnya.
Tetangga, sebaliknya, ia seringkali memperlihatkan 'wajah aslinya' sehari-hari. Kita tahu kalau mereka bisa marah besar sambil berkata-kata kasar pada pasangannya, malas, atau bahkan berbuat tidak adil terhadap tetangga-tetangga lainnya.
Banjir informasi yang terlalu banyak dan lengkap itu, membuat rasa hormat dan kagum kita pada kehadiran si tetangga ini semakin hari akan semakin goyah.
Padahal, setiap orang tentunya punya sisi baik dan buruk di dalam dirinya. Pun diri kita sendiri. Tetapi ketika kita hanya melihat satu sisi pada orang asing yang baru kita kenal, kita sebenarnya bisa jadi sedang terkecoh dengan ilusi kesempurnaan yang dihadirkan pada saat itu.
Individualisme yang Semakin Menguat
Dulu, sekitar tahun 1980an dan 1990an, hubungan bertetangga di Indonesia terkenal sangat lekat dengan nilai-nilai gotong royong. Ada kegiatan-kegiatan ronda bersama, kerja bakti setiap hari minggu, atau bantu-bantu acara syukuran warga yang semakin mengikat rasa kebersamaan di sana.
Nilai 'rukun tetangga' bukan hanya sekedar slogan, tapi benar-benar diresapi dan dijalankan secara nyata dalam kehidupan bertetangga pada masa itu.
Namun, di era modern seperti sekarang, hubungan antar tetangga yang hangat dan dekat ini mulai merenggang. Pagar-pagar rumah semakin tinggi, interaksi antar tetangga semakin minim, dan suasana individualisme terasa semakin kuat.
Akibatnya, ruang untuk menumbuhkan rasa menghargai dan saling peduli jadi semakin menyempit. Kita justru lebih nyaman membuka hati kepada orang asing di dunia maya, yang mungkin ribuan kilometer jauhnya, daripada menyapa tetangga yang hanya berjarak satu tembok pagar rumah dengan kita.
Interaksi dan Eksistensi Digital yang Memperlebar Kontras
Kehadiran media sosial di tengah kita menciptakan sebuah kondisi unik yang belum pernah ada sebelumnya. Kita bisa bertemu dan mendapat apresiasi dari orang asing yang bahkan tidak pernah bertemu langsung dengan kita.
Tulisan-tulisan digital, foto-foto, atau cerita yang kita bagikan bisa mereka lihat dan puji-puji, bahkan memberikan semangat atau ucapan yang personal lewat fitur pesan langsung di dalamnya.
Sementara itu, di sekitar kita, tak jarang kita temui tetangga kita justru lebih sering memberi komentar yang lebih pedas, lebih frontal kadang kala, bahkan terkesan menyepelekan kita.
Perbedaan afirmasi dan atmosfer inilah yang pad akhirnya tak jarang membuat kita merasa dihargai ugal-ugalan di dunia maya, tetapi kurang dihargai di lingkungan nyata di sekitar tempat tinggal kita.
Maka tidak heran jika orang-orang kini lebih nyaman membangun jejaring apresiasi dengan orang asing di dunia maya, ketimbang merawat hubungan sosial yang lebih baik dan lebih nyata pada tetangga sekitar rumah kita.
Kita Lelah dengan Konflik Antar Tetangga yang Terus Ada
Dalam hubungan bertetangga, konflik kecil nyaris tak bisa dihindari. Penyebab masalahnya bisa jadi sepele, dari sekedar urusan parkir motor atau mobil yang menutupi akses jalan keluar masuk, saluran air mampet, sampai suara berisik dari hobi tetangga memainkan musik rock dengan volume yang cukup keras di minggu pagi.
Masalah-masalah kecil namun berulang ini jika dibiarkan terus menumpuk dalam hati, dapat membuat hubungan antar tetangga yang tadinya sudah tidak akrab menjadi semakin retak dan berjarak.
Sebaliknya, interaksi dengan orang asing yang hampir selalu bersifat sementara dan kadang sesekali saja, sangat minim akan potensi menghadirkan konflik yang cukup keras.
Kita bisa memilih untuk menjaga kesan baik, karena tahu perjumpaan itu tidak akan lama dan repetitif. Kita tentu ingin tetap mempertahankan penilaian baik yang sudah ada di diri kita pada orang asing itu. Akhirnya karena ketiadaan konflik jangka panjang, rasa kagum dan menghargai pun jauh lebih mudah dipertahankan.
Lalu, Bagaimana Seharusnya Kita Bersikap?
Fenomena sosial ini sebetulnya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika kita terus memendam emosi dan menutup diri dari tetangga, masyarakat akan kehilangan ikatan sosial pada orang-orang terdekatnya. Yang mungkin tersisa kemudian hanyalah kesepian di tengah keramaian.
Maka untuk mengurangi dampak buruknya, kita bisa mungkin sedikit mengontrol ekspektasi kita terhadap tetangga. Hindari kecenderungan berharap bahwa tetangga akan menjadi manusia yang sempurna dan dapat diandalkan, yang paling dekat dengan kita.
Terimalah kenyataannya, bahwa mereka sama rapuhnya dengan kita, dengan segala baik dan buruknya yang sudah kita ketahui selama ini. Terimalah hal-hal semacam itu.
Jangan biarkan konflik kecil menjadi bom waktu, belajarlah untuk saling memaafkan dan menghargai secara aktif. Mulai dengan hal-hal sesederhana menyapa saat tidak sengaja bertemu atau berpapasan, memuji hal-hal kecil yang kita lihat dari mereka, atau sekadar mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka sekecil apapun itu.
Menciptakan ruang interaksi yang sehat dengan mengikuti kegiatan-kegiatan RT, kerja bakti mingguan, atau sekadar ngobrol santai tanpa konteks dengan mereka juga bisa jadi langkah kecil yang bisa mempererat rasa hormat dan sikap saling peduli terhadap mereka.
Selain itu kita pun harus bisa memisahkan antara masalah pribadi dari relasi-relasi sosial kita, jangan ceritakan hal-hal yang tidak perlu. Ingat, sedekat apapun hubungan yang mau kita bangun, mereka tetap orang lain yang berpotensi akan mengecewakan. Jangan lupa akan hal itu.
Jika kita bisa memperlakukan orang asing dengan lebih hormat, mengapa kita tidak bisa melakukannya hal yang sama kepada orang yang setiap hari kita temui?
Penutup
Menghargai orang asing yang baru kita kenal itu baik. Tetapi menghargai mereka yang setiap hari kita temui adalah tantangan yang lebih berat, sekaligus lebih penting.
Karena pada akhirnya, yang akan menolong kita pada saat-saat genting nantinya bukanlah orang asing yang kita temui di jalanan atau di sosial media kita, melainkan ya tetangga di samping rumah kita, bukan?
Kita hanya perlu sedikit meninggikan kerendahan hati, sedikit memanjangkan sabar, dan sadari bahwa hidup rukun bukanlah sekadar sebuah jargon di gapura-gapura perumahan.
Kerukunan antar masyarakat adalah sebuah kebutuhan bersama, mengingat kita sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
"Seringkali kita terlalu kagum pada orang jauh yang tak pernah tahu luka kita, sementara kita lupa, penghargaan sejati justru diuji pada mereka yang hidup paling dekat dengan kita."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI