Ruang publik bukan perkara soal kursi dan pepohonan. Ia adalah simbol keterhubungan. Di sana kita bisa hadir sebagai seutuhnya manusia, makhluk sosial, bukan konsumen. Ia memungkinkan kita belajar hidup berdampingan, saling memberi ruang, berbagi udara, bahkan mungkin berbagi diam.
Tanpa ruang publik, kota semakin terasa individualistis. Kita hidup di perumahan yang rapat-rapat, tapi jarak batin melebar. Kita semakin sering berada di ruang ramai, tapi tetap merasa kesepian.
Kalau kita masih mengukur kemajuan sebuah kota dari jumlah mal yang berdiri, jangan terkejut bila nantinya generasi yang akan datang jauh lebih mengenal eskalator daripada pepohonan, lebih akrab dengan angin dari standing AC daripada semilir angin taman, dan lebih hafal jingle-jingle promo ketimbang lagu anak-anak.
Mungkin sudah waktunya kita dan para pejabat pemerintah kota berpikir ulang: apa artinya tinggal di sebuah kota modern kalau ruang untuk sekadar duduk tenang saja kita harus membayar?Â
Sebuah kota tidak seharusnya hanya jadi etalase konsumsi, tapi juga rumah bersama bagi warganya. Dan rumah yang baik, tentu punya ruang tamu, yang gratis, terbuka, dan ramah bagi semua. Baik untuk pendatang dan juga penghuninya.
"Kemajuan sejati sebuah kota terlihat bukan dari gedung menjulang, tapi dari ruang terbuka yang membuat warganya merasa setara, bebas, dan tenang. Menjadi manusia seutuhnya, bukan sekedar objek konsumersisme."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI