Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ruang Publik Gratis yang Kini Terasa Semakin Mahal di Kota-Kota Besar

29 September 2025   09:44 Diperbarui: 29 September 2025   10:47 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, kita bebas-bebas saja untuk masuk ke setiap mal yang kita mau. Tetapi begitu kita masuk, atmosfer di dalamnya seolah sudah mengarahkan kita untuk bertransaksi lebih lagi. Iklan-iklan dengan bahasa marketing yang mendorong hati kecil kita untuk membeli sebuah produk, jajaran X-Banner di depan tenant-tenant dengan sales-salesnya yang ganteng dan cantik di depan pintu masuk dan tulisan-tulisan besar promo-promo hari ini. Kursi-kursi dan meja makan tersebar di area-area restoran, yang mana untuk bisa duduk dan mengusir lelah sejenak di sana, kita perlu membeli satu atau dua menu di restonya.

Kebebasan di dalam sana adalah kebebasan semu, karena pada akhirnya kita tetap diarahkan untuk mengeluarkan uang untuk setiap fasilitas tambahan di dalam sana. Sekalipun Anda tidak ke sana untuk berbelanja, Anda tetap harus bayar uang parkir yang dihitungnya setiap jam. Semakin lama Anda di dalam sebuah mal, semakin banyak uang yang harus Anda keluarkan.

Bandingkan dengan taman kota yang ideal. Taman kota yang ideal di sini adalah yang terbebas dari biaya parkir per jam dan tiket masuk, anak-anak bisa berlarian bebas. Jika Anda kutu buku, Anda bisa membaca buku di sana dengan tenang, menulis jika memang Anda penulis. 

Piknik bersama keluarga, makan bekal yang sudah disiapkan istri dari rumah atau sekadar rebahan sambil menatap langit. Tidak ada syarat minimal belanja, tidak ada musik yang berisik dan jingle iklan, tidak ada papan-papan promosi yang merampas fokus mata.

Kenapa Kota Lebih Suka Mal?
Pertanyaan besar kemudian muncul; mengapa kota kita lebih suka membangun mal ketimbang ruang publik gratis? Ada beberapa jawaban sederhana tapi getir untuk menjabarkan alasan-alasan di balik anomali prioritas keputusan pembangunan kota di republik ini.

Yang pertama adalah karena logika ekonomi jangka pendek. Mal memang menghasilkan pajak daerah, retribusi, lapangan kerja, dan menjadi magnet investasi bagi sebuah daerah. 

Dari kacamata birokrat, ini lebih mudah dihitung dan dilaporkan. Ada angka rupiah, ada statistik pengangguran yang berkurang, ada grafik pertumbuhan ekonomi yang naik. 

Sementara itu, taman kota tidak menghasilkan uang langsung. Ia hanya 'menghabiskan' anggaran pemeliharaan, taman yang rusak butuh diperbaiki, sampahnya harus dibersihkan setiap hari, keamanannya perlu dijaga. Tidak ada istilah "laporan pendapatan daerah dari kursi taman" sehingga taman tidak lebih populer daripada mal, padahal manfaat sosialnya jauh lebih luas daripada membangun mal.

Yang kedua, pembangunan kota kita yang masih bermental konsumtif. Di Indonesia, pembangunan masih sering diukur dari bangunan-bangunan beton, gedung-gedung super tinggi, dan angka-angka transaksi. Ruang yang hening, hijau, dan gratis dipandang bukan sebagai kemajuan, melainkan sebagai sesuatu yang kurang bisa dijual.

Dan yang ketiga yang paling berpengaruh dan masih hangat sampai saat ini adalah politik pencitraan. Meresmikan mal-mal besar bagi mereka seringkali terasa lebih prestisius bagi sebagian pejabat di sini dibandingkan meresmikan sebuah taman. Foto-foto pejabat pemerintahan saat melakukan potong pita di depan gedung tinggi mal terlihat lebih 'wah' dibandingkan meresmikan sebuah taman, dalam perspektif mereka.

Ironisnya, yang sesungguhnya dibutuhkan oleh semua kalangan masyarakat adalah ruang publik yang nyaman dan gratis. Tapi karena ukurannya tidak bisa ditarik ke tabel excel "kontribusi pajak daerah", maka ia seringkali tersisih dari daftar prioritas pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun