Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital dengan tema-tema psikologi, opini, politik dan kontemplasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Demi 50 Juta per Bulan, Sepadankah Nyawa Rakyat Dikorbankan?

30 Agustus 2025   14:17 Diperbarui: 31 Agustus 2025   11:15 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ibu-Ibu Berkerudung Pink yang Viral Beberapa Hari ini. (Sumber Foto: X.com)

Di sebuah negeri yang katanya paling demokrasi, nyatanya suara-suara rakyat masih harus dibungkam. Bukan hanya dibungkam suaranya, tapi hadirnya harus dihalau dengan peluru-peluru gas air mata. Jalanan-jalanan di Jakarta dan kota-kota besar lain beberapa hari ini seolah jadi panggung terbuka untuk masyarakat menyuarakan kebencian-kebenciannya terhadap negara dan pemerintahnya.

Manusia-manusia berdesakan, berserakan, bendera-bendera dan spanduk-spanduk orasi dikibarkan, di beberapa tempat kepulan asap membubung bahkan beberapa titik api besar menyala tinggi sampai memerahkan langit malam. Tidak, api dan asap itu bukan datang dari dapur-dapur rakyat yang lapar, itu dari jalanan, dari ban-ban dan bangunan-bangunan yang terbakar dan asap-asap gas air mata kadaluarsa milik aparat.

Suara klakson-klakson dari motor-motor ojol bercampur dengan teriakan-teriakan mahasiswa yang berorasi siang malam. Sirine-sirine polisi menutup harmoni yang tak pernah ditulis dalam partitur manapun di dunia. Itulah musik tanpa royalti kita beberapa hari ini. Sebuah simfoni kegaduhan yang lahir dari kemuakan akan ketidakadilan yang bertubi-tubi dipertontonkan.

Tunjangan 50 Juta vs Jeritan 50 Ribu Lebih Rakyat di Jalanan

Apa yang sebenarnya membuat rakyat sangat marah akhir-akhir ini?

Jawabannya sederhana, tapi cukup pahit. Di saat banyak keluarga sedang berjuang mengumpulkan dan menghitung receh demi receh uang untuk sekadar membeli beras, para wakil rakyat sibuk menambah tunjangan beras dan sewa perumahan mereka sebesar Rp 50 juta per bulan.

Jumlah yang sangat amat cukup untuk membiayai hidup sederhana satu keluarga selama setahun, tapi pemerintah memutuskan untuk mengubah uang itu menjadi ongkos kenyamanan pribadi para wakil-wakil rakyat itu, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan perjuangan rakyat di dapil-dapil yang harusnya mereka perjuangkan aspirasinya.

Seorang ibu di pasar harus menawar cabe rawit tiga kali sebelum ia bisa membawanya pulang, sementara itu para anggota dewan bisa dengan santai mengisi kulkas rumah dinas mereka tanpa pernah tahu harga cabai per kilo di pasar tradisional.

Mungkin uang-uang itu bukan untuk hidup mewah mereka, melainkan untuk menjaga telinga-telinga mereka tetap tuli. Tuli dari jeritan-jeritan rakyat yang sebenarnya pun sudah terlalu sering mereka abaikan.

Sudah Tertindas Masih Pula Dilindas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun