Di tengah kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi global yang masif, kemiskinan dan ketimpangan sosial masih menjadi momok yang menghantui peradaban manusia. Data terbaru dari Bank Dunia menyebutkan bahwa hampir 700 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem, sementara 1% populasi terkaya menguasai lebih dari dua pertengah kekayaan dunia. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari ketidakadilan sistemik yang terus memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Namun, di balik deretan angka, ada kisah nyata yang sering luput dari sorotan—sebuah kasus yang menggambarkan betapa rapuhnya tatanan sosial ketika kemiskinan dan ketimpangan bersinggungan dengan kebijakan yang abai.
Di sebuah wilayah urban di Asia Tenggara, misalnya, ribuan keluarga terpaksa tinggal di pemukiman kumuh yang berjarak hanya beberapa kilometer dari gedung-gedung pencakar langit megah. Anak-anak di sana harus berjuang mendapatkan akses air bersih dan pendidikan, sementara segelintir elit menikmati fasilitas kesehatan privat dan sekolah internasional. Kasus ini bukanlah fenomena isolasi, melainkan potret nyata dari ketimpangan struktural yang diperparah oleh sistem ekonomi yang tidak inklusif. Ketika kemiskinan diwariskan dari generasi ke generasi, dan peluang untuk keluar dari lingkaran itu semakin sempit, apa yang sebenarnya gagal dilakukan oleh masyarakat global?
Banyak sekali kasus ketidakadilan terhadap Masyarakat miskin yang ada diluar sana yang perlu di analisis faktor apa yang melatarbelakangi ketidakadilan tersebut terjadi, maka dari itu artikel ini akan menyoroti kompleksitas hubungan antara kemiskinan, ketimpangan, dan kebijakan publik. Seperti sebuah kasus beberapa tahun silam sebuah kasus yang menimpa seorang wanita tua bernama Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, yang dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Peristiwa ini terjadi pada tahun 2009 silam ketika Nenek Minah menunaikan pekerjaannya memanen kedelai di Perkebunan RSA.
      Kasus ini bermula ketika Nenek Minah mendapati 3 buah kakao di atas pohon perkebunan tempatnya bekerja yang terlihat nampak matang. Maksud hati Nenek berusia 55 tahun ketika itu ialah memetik untuk disemai sebagai bibit pada tanah garapannya. Lalu, dia lantas meletakkan kakao di bawah pohon dimaksud.
Tak lama kemudian, mandor kakao perkebunan menegur Nenek Minah lantaran 3 buah kakao yang nampak tergeletak di bawah pohon. Tak mengelak dari perbuatannya, Nenek Minah mengaku dan memohon maaf kepada mandor dan menyerahkan kembali ketiga kakao itu. Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian.
Pemeriksaan berlangsung sampai akhirnya kasus ini bergulir ke meja hijau di Pengadilan Negeri Purwokerto. Nenek Minah dalam persidangan itu seperti ramai diberitakan berbagai media tidak didampingi penasihat hukum berakhir didakwa atas pencurian (Pasal 362 KUHP) terhadap 3 buah kakao seberat 3 kilogram dengan perhitungan harga Rp 2.000 per kilogram.
Alhasil, Majelis Hakim PN Purwokerto saat itu memutuskan Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Persidangan Perkara No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt ini ramai dibincangkan dan menyita perhatian publik lantaran kasus kecil tetap diproses hukum hingga ke meja hijau (pengadilan). Sampai-sampai Ketua Majelis Hakim meneteskan air mata saat membacakan vonis sang petani berumur itu.
Kasus Nenek Minah hanyalah salah satu dari banyak contoh serupa di mana masyarakat miskin, yang berusaha bertahan hidup dalam keterbatasan ekonomi, justru dihukum secara keras oleh sistem hukum yang tidak peka terhadap realitas kehidupan mereka. Di berbagai wilayah, kita menemukan bahwa tindakan-tindakan kecil yang diambil karena kebutuhan seperti mengambil hasil panen atau barang sehari-hari yang bernilai minim seringkali dikategorikan sebagai tindak kriminal.
Bayangkan jika hanya segelintir orang yang memiliki hampir seluruh kekayaan, sementara mayoritas kita hanya berusaha mengais rezeki dari sisa-sisa yang ada. Kondisi seperti ini menciptakan jurang pemisah yang sangat lebar antara mereka yang kaya dan kita yang hidup dari keterbatasan. Ketika kebijakan publik lebih menekankan pada penegakan hukum daripada melindungi mereka yang paling rentan, masyarakat miskin seringkali tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan bantuan hukum yang layak. Tanpa dukungan yang memadai, mereka yang terdesak oleh keadaan ekonomi terpaksa mengambil langkah-langkah yang sederhana sebagai respon atas kebutuhan hidup namun malah dianggap sebagai pelanggaran. Akibatnya, sistem keadilan justru menjadi alat yang menekan, mengkriminalisasi tindakan-tindakan kecil yang sebenarnya merupakan usaha bertahan hidup, dan memperkuat siklus kemiskinan serta ketidakadilan yang sudah ada.
Kasus Nenek Minah menunjukkan bahwa orang miskin sering terjebak dalam sistem yang tidak adil. Orang yang berusaha bertahan hidup dengan cara sederhana, seperti memetik beberapa buah kakao untuk dijadikan bibit, malah dihukum karena dianggap melanggar hukum. Hal ini terjadi karena kekayaan terpusat pada segelintir elit dan kebijakan publik lebih menekankan penegakan hukum daripada perlindungan sosial. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kebijakan yang memberikan perlindungan sosial lebih besar, seperti bantuan hukum, akses yang lebih mudah ke pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan, serta upaya untuk pemerataan kekayaan. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan keadilan bisa terwujud dan kasus-kasus seperti ini tidak akan terulang lagi.
Untuk mengatasi kasus seperti yang dialami Nenek Minah dari perspektif ekonomi, diperlukan langkah-langkah struktural yang mendasar untuk mengurangi ketimpangan dan meratakan distribusi kekayaan. Pemerintah dapat memperkuat sistem perpajakan progresif sehingga segelintir orang kaya yang memiliki kekayaan besar memberikan kontribusi lebih besar dalam pembiayaan program kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur, yang secara langsung membantu masyarakat miskin. Di samping itu, pengembangan program pemberdayaan ekonomi, seperti penyediaan kredit mikro, pelatihan keterampilan, dan dukungan terhadap usaha kecil, akan membuka peluang usaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah. Investasi yang lebih besar dalam sektor pendidikan dan kesehatan juga krusial, karena akses yang lebih baik ke layanan dasar ini dapat meningkatkan mobilitas sosial dan mengurangi kesenjangan jangka panjang. Selain itu, pengembangan infrastruktur di daerah pedesaan harus diprioritaskan untuk mengurangi disparitas antara kota dan desa, sehingga masyarakat tidak merasa terdesak untuk bermigrasi atau mengambil langkah-langkah yang justru dipandang sebagai pelanggaran hukum. Dengan mengintegrasikan reformasi perpajakan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan layanan publik, diharapkan tekanan ekonomi yang memicu kasus seperti Nenek Minah dapat diatasi dan menciptakan masyarakat yang lebih adil serta inklusif.
Mari kita renungkan bahwa keadilan sosial bukan hanya soal angka atau statistik, melainkan tentang kehidupan nyata setiap individu yang berhak mendapatkan kesempatan untuk hidup layak. Kasus Nenek Minah telah membuka mata kita akan betapa mendesaknya perlunya reformasi ekonomi dan kebijakan publik yang inklusif, agar tidak ada lagi saudara kita yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Dengan menerapkan perpajakan yang adil, memberdayakan ekonomi lokal, dan memperkuat akses pendidikan serta layanan kesehatan, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih seimbang dan berdaya saing. Perubahan ini memerlukan sinergi dari semua pihak pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat itu sendiri untuk bersama-sama membangun masa depan yang penuh harapan, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI