Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Catatan Puasarkastik #1

17 Juni 2015   23:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:08 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebaran Pindah Awal Puasa, Mohon Maaf Digital

Awal puasa, banyak orang ramai-ramai meminta maaf. Sudah serasa Lebaran 29 hari ke depan dirasa awal puasa ini. Melalui social media mereka menyampaikan maaf. Banyak pula melalui broadcast BBM. Ramai-ramai membuat broadcast yang sepertinya sudah sangat viral. Karena satu sama lain serupa adanya, alias copas saja. Tidak ada yang special dari pesan-pesan minta maaf yang ada.

Karena jejak digital berupa ketikan karakter di layar HP tidak bisa menggantikan tulusnya senyum meminta maaf. Sebuah kenyataan yang kian liar. Meminta maaf bukan dengan menjabat tangan dan menyungging senyum. Meminta maaf kini diwakili hiper-realitas digital, pesan singkat. Ditambah emot dan sedikit font Arab gundul, sejuk rasanya memandang broadcast singkat memohon maaf. Namun, tidak ada yang tahu betapa sarkastik pesan itu. Ia menyembunyikan niat pengirim pesan tadi.

Bisa saja si pengirim mengirim broadcast agar trending semata. Karena sedang ‘membersihkan’ contact BBM yang kebetulan banyak yang berganti device. Atau Karena ingin terlihat 'Islami’ mereka spontan saja mengirim pesan minta maaf. Biar tidak ketinggalan the hype. Momentum menjelang puasa agar biar tetap eksis di dunia sosmed. Karena dunia candu ini begitu anonimus namun begitu nyata. Serasa baik di dunia maya, sudah serasa sebaik dunia nyata.

Seraya menghaturkan maaf, membaca pesan panjang pun hanya cukup di-scroll ke bawah. Kalau perlu cepat dan tanpa tahu isi pesan. Lalu dibalas dengan meng-copas pesan yang sudah ada dari teman. Ada yang tulus membaca. Itu pun mungkin tidak banyak. Ingat, hanya sekadar membaca. Rasa maaf atau tulus memberi maaf pun berwujud digital serupa. Emot atau balasan meme pun di-reply. Hilang senyum tulus meminta maaf itu. Hilang jabat tangan itu. Semua digantikan karakter digital.

Pedagang, Pengawal Gerbang Sumpah Serakah

Ah, awal puasa pun menjadi ajang keserakahan manusia, khususnya pedagang. Mereka ramai-ramai menaikkan harga. Alasan absurd dan banal pun djadikan pegangan mereka. Karena awal puasa, wajar saja ada kenaikan harga. sudah berulang dari tiap puasa tiap tahunnya. Seolah hal picik ini menjadi sebuah pemakluman, pedagang dan tengkulak menjadi serakah. Seolah keuntungan yang sudah mereka dapat, harus berlipat saat puasa. Pembeli pun tidak ada pilihan lain selain membeli.

Praktek pasar liar ini pun akan membabi buta sampai akhir puasa nanti. Tidak ada yang mampu membendung sumpah serakah pedagang dan tengkulak menaikkan harga. Saat pihak pemerintah hanya bisa diam dan gigit jari, pembeli ditodong perutnya untuk terus membeli. Pemerintah hanya bisa menutup lobang serakah di satu tempat. Sedang di tempat lain, praktek serakah pedagang dan tengkulak semakin mewabah dan sulit disembuhkan. Pembeli pun membeli dengan wajah memelas putus asa.

Tidak ada lagi istilah pembeli adalah raja. Apalagi di saat puasa. Pembeli adalah jutaan kepala yang tunduk akan tindak pedagang dan tengkulak. Pembeli adalah para pemilih barang putus asa atas apa yang mereka pilih. Karena pedagang dan tengkulak pun sudah mendeversifikasi usaha mereka. Yang dagang satu, tapi dagangannya macam-macam. Harganya pun tidak jauh beda. Betapa senangnya pembeli yang melihat harga lebih murah 100 Rupiah. Saat barang-barang lain dari satu pedagang itu harganya sudah dinaikkan 200 Rupiah.  Pembeli di saat puasa pun dihalusinasi harga dan ancaman lapar.

Bukankah puasa sejatinya belajar menahan diri. Menahan nafsi-nafsi dari amal mungkar. Serakah adalah amalan tercela. Lalu kenapa pedagang dan tengkulak itu begitu picik dan serakah. Andai mereka juga turut berpuasa, apa yang mereka coba kendalikan diri, selain terus mengeruk untung. Kalau perlu tanpa batas. Karena semua dengan alasan yang serupa, karena puasa. 

Salam,

Solo, 17 Juni 2015

11:22 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun